Seperti halnya perjalanan surat itu sendiri, entah digunakan sebagai alat bukti yang sah atau kemudian dibelokkan menjadi menjadi suatu keabsahan, sekalipun orang bisa menilai adanya ketidakbenaran. Sebuah penggalan kisah di dalam Kitab Suci bisa menjadikan mata batin bisa melihat dan telinga rohani bisa mendengar. Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab orang itu ; Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu : Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang yang lain : Delapan puluh pikul.
Mendadak dahi ini berkerut. saat membaca sepenggal kisah di atas. Menjadi sebuah pertanyaan dalam benak pikiran manusia normal. Surat siapakah yang paling hakiki di hadapan Sang Khalik ? Apakah surat dengan tangan tangan di atas meterai dan dilengkapi dengan stempel basah. Ataukah di sisi lain, orang yang berada dalam tekanan itu merupakan bagian Suratan Takdir di hadapan Tuhan ?
Menjadikan refleksi diri akan arti sebuah surat. Karena ibaratnya kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Dan tidak bisa tidak, seberapapun sepak terjang kita dalam mengarungi kehidupan dengan tingkah polahnya serta gaya dan aksinya, itulah surat yang terbuka yang bisa dibaca oleh semua orang tanpa perlu memakai kacamata pembesar. Itulah fakta. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H