Bulan kemarin, di suatu hari yang panas, seorang bapak mengontak penulis untuk minta tolong dikirim sebuah kursi dan meja belajar buat anaknya. Memang, sebelum memasuki masa pensiun, penulis sudah ada usaha sampingan membuka toko meubel kecil-kecilan dengan cara online untuk kegiatan sehari-hari. Dan itu berlangsung sampai sekarang, sekalipun tidak selaris saat ada pendemi. Penulis hanya menawarkan barang dagangan lewat media sosial saja. Kalau ada yang berminat dan cocok harga, maka segera penulis kirim ke alamat pemesan dan bayar di tempat.
Dengan cara seperti ini, tetap ada kegiatan buat otak dan fisik, yang bisa penulis lakukan setiap harinya. Selain memposting barang-barang untuk ditawarkan, juga aktifitas kalau ada pengiriman ke rumah konsumen. Tentu saja selain beraktifitas dengan dunia tulis menulis artikel untuk bisa tayang di kompasiana, dan juga kegiatan bersih-bersih halaman dengan tanam menanam atau siram menyiram tumbuhan yang ada di depan dan belakang rumah.
Kursi dan meja belajar yang penulis kirim tidaklah terlalu mahal, dengan bahan dan desain yang cukup bagus dan warna yang menarik hati anak-anak. Tidak memakai busa di kursinya, karena ditakutkan si anak-anak yang duduk belajar malah ketiduran karena empuknya. Melihat kedatangan kursi dan meja belajar yang diinginkannya, si anak ini berteriak kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.
Tetapi tanpa diduga salah seorang anak yang lain, yang penulis baru tahu, itu adalah saudara kembarnya, meminta juga kursi dan meja belajar yang sama hanya beda warna. Terlihat wajah si bapak yang kebingungan, dan tidak menduga akan ada kejadian seperti ini. Berpikir positip saja, mungkin bapaknya berharap kursi dan meja belajarnya bisa dipakai bergantian oleh kedua anaknya, untuk menghemat biaya.
Tetapi apa yang penulis lihat di depan mata kepala sendiri, adalah bagaimana kemudian terjadi perebutan kursi di kedua anak kembar ini. Dan lucunya tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya keduanya menangis. Satu orang anaknya segera diangkat oleh bapaknya, dan seorang yang lain dingkat oleh ibunya. Mau tidak mau akhirnya bapaknya pesan lagi satu kursi dan mejanya. Sekalipun baru bisa terkirim minggu depannya, karena warna keinginan anaknya sudah habis stocknya. Buat penulis ini berarti cuan. Hmm.
Tetapi di satu sisi, penulis jadi ingat slogan iklan salah satu produk furniture di era tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan. Begini bunyinya. Kalau sudah duduk, lupa berdiri. Dan kalau dipikir dan direka-reka sampai jauh ke dalam, ada benarnya juga. Kalau kursinya enak dan nyaman untuk diduduki, mana ada yang rela untuk dierahkan kepada yang lain ? Bukan lagi seperti yang dilakukan anak kembar tadi. Tetapi lebih jauh sudah masuk ranah kekuasaan. Benar ?
Bagaimana tidak. Ketika kekuasaan sudah di tangan dan dengan duduk di atas kursi yang empuk, itu rasanya sebuah kenikmatan yang tiada tara. Bahkan untuk berdiri, sekedar ke toiletpun, rasanya enggan, karena kursinya begitu empuk dan nyaman. Jaman terus berputar, tetapi tidak demikian dengan tagline tadi. Masih dikatakan relevan sampai saat ini.
Entah juga apa yang dipikiran orang yang bisa duduk di kursi empuk yang seringkali direbutkan dan diributkan. Bertahan duduk, dengan kursi yang kalau perlu dirantai dengan mejanya sekalian. Kalau sekiranya bisa pun mungkin isterinya dipanggll untuk menjaga kursinya. Selain tentu saja berharap kursinya bisa diduduki oleh garis keturunannya. Sehingga kursinya tidak bergerser barang seincipun.