Semalam, sambil menunggu anak bungsu datang dari Bandung dalam rangka menikmati cuti besar, penulis berdua mengobrol sambil sesekali membuka handphone memonitor keberadaan posisi anak bungsu lewat google maps. Tidak terasa anak bungsu sudah bekerja di Bandung selama kurun waktu empat tahun, setelah lulus kuliah. Dan tidak terasa juga kalau rambut penulis juga sudah mulai banyak berubah warna.
Sebelumnya, kemarin pagi si bungsu mengabarkan kalau perjalanan ke Semarang akan dicoba dengan menggunakan bus malam. Dia bilang sesekali mencoba transportasi yang belum pernah dia lakoni. Mumpung waktunya longgar dan bisa menikmati suasana perjalanan yang lain. Jadual keberangkatan dari Jalan Riau Bandung tertera di tiketnya jam empat belas waktu Indonesia Bagian Barat. Dan di jadualkan masuk terminal Banyumanik Semarang jam dua puluh tiga lewat empat puluh lima menit.
Sambil menunggu kedatangannya di tengah malam, seperti jaman dulu kalau ingin nonton bioskop midnight. Sekalipun terkantuk-kantuk, demi sebuah film yang bagus, tetap dijalani juga. Apalagi ini anak kandung. Secangkir kopi putaran kedua sudah habis penulis minum. Dan obrolan dengan isteri belum selesai juga.
Memang ada sedikit cerita di grup media sosial kami. Apalagi kalau bukan group angkatan sekolah menengah atas di WhatsApp. Group yang memang dibentuk sebagai ajang silaturahmi dan guyonan masa lalu saat masih sekolah bareng dengan segala cerita kita. Tetapi entah kenapa, berbarengan dengan ajang kompetisi pilihan calon presiden dan calon wakil presiden, ada satu dua orang kawan yang menyisipkan kampanye yang buntutnya menjatuhkan kontestan lain peserta pemilihan umum di dalam group WhatsApp.
Sekali dua kali sang admin membiarkan. Tetapi karena kemudian mulai timbul pertikaian diantara sesama angkatan, dengan cara merespon kata-kata pedas, sekalipun hanya lewat tulisan. Namun, itu membuat yang membacapun ikut tersulut emosinya. Sampai akhirnya sang admin mengingatkan dengan keras agar tidak memposting apapun yang ada kaitannya dengan politik dan pemilihan umum yang saat ini makin memanas di negeri zamrud khatulistiwa. Kalau tidak mematuhi aturan akan segera di keluarkan dari anggota group.
Kadangkala dalam benak pikiran yang normal, sempat tercetus, buat apa sih memposting sesuatu yang bikin anggota group terpecah belah ? Padahal kita tahu keberadaan group dengan warna warni guyonan sebagai penghilang stress.Â
Kita juga tahu di satu sisi yang lain, kita pun sering membaca berita-berita yang benran atau hoax yang terus dijejalkan kepada kita melalui media sosial yang membuat pikiran dan jiwa kita agak terganggu. Ini menambah beban pikiran orang yang tidak siap menjadi tambah stress. Dan itu memicu sensitifitas diri menjadi suatu kemarahan terhadap kondisi yang tidak menentu.
Belum lagi kalau yang membaca sedang sakit gigi. Atau sedang tensi tinggi karena sedang ada masalah keuangan. Atau sedang ada masalah dengan anaknya yang terciduk kasus narkoba. Atau sedang memasuki masa pensiun yang dirasa belum siap dijalani.Â
Apapun bisa terjadi. Memang orang yang memposting sesuatu, rasanya beroleh kepuasan tersendiri. Tetapi tidakkah berpikir orang yang membacanya tu dalam kondisi siap mental jasmani rohani ? Lalu apa reaksi kita terhadap kondisi seperti ini ?
Mungkin saja, kita bisa meluap rasa amarah sesaat, layaknya petasan dengan sumbu pendek. Tetapi kita bisa belajar kembali dalam pengendalian diri. Seperti yang pernah ada tertulis. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya.
Pertanyaannya….jadi apakah kita tidak boleh marah ? Persoalannya bukan pada boleh atau tidak boleh marah. Tetapi lebih kepada esensinya itu sendiri. Karena ketika kemudian kita marah dengan membabi buta apakah itu akan menyelesaikan persoalannya ? Apalagi di depan Sang Khalik.
Karena dari suatu tindakan kemarahan yang meluap dan tidak terkontrol, bisa membuat efek domino yang luar biasa dampaknya, tanpa kita sadari sebelumnya. Sekalipun kemarahannya diluapkan lewat tulisan. Kenapa ada orang tua yang tega membunuh anak kandungnya ? Ini adalah salah satu contoh dampak dari luapan amarah terhadap kondisi rumah tangganya yang sedang jatuh, tertimpa tangga pula. Dan ini sudah masuk kategori kejahatan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua puluh empat, ketika pintu rumah kami diketuk. Dan di hadapan kami anak bungsu dengan ransel pakaian dan tas yang sarat oleh-oleh buat kami berdua. Sambil mengamati oleh-oleh yang anak bungsu bawa, penulis sempat menoleh ke gelas kopi yang sudah kosong. Tersirat sebuah kalimat bijak. Berhentilah marah dan tinggalkan panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kejahatan. Terima kasih Tuhan, sudah diingatkan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H