Apapun bisa terjadi. Memang orang yang memposting sesuatu, rasanya beroleh kepuasan tersendiri. Tetapi tidakkah berpikir orang yang membacanya tu dalam kondisi siap mental jasmani rohani ? Lalu apa reaksi kita terhadap kondisi seperti ini ?
Mungkin saja, kita bisa meluap rasa amarah sesaat, layaknya petasan dengan sumbu pendek. Tetapi kita bisa belajar kembali dalam pengendalian diri. Seperti yang pernah ada tertulis. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya.
Pertanyaannya….jadi apakah kita tidak boleh marah ? Persoalannya bukan pada boleh atau tidak boleh marah. Tetapi lebih kepada esensinya itu sendiri. Karena ketika kemudian kita marah dengan membabi buta apakah itu akan menyelesaikan persoalannya ? Apalagi di depan Sang Khalik.
Karena dari suatu tindakan kemarahan yang meluap dan tidak terkontrol, bisa membuat efek domino yang luar biasa dampaknya, tanpa kita sadari sebelumnya. Sekalipun kemarahannya diluapkan lewat tulisan. Kenapa ada orang tua yang tega membunuh anak kandungnya ? Ini adalah salah satu contoh dampak dari luapan amarah terhadap kondisi rumah tangganya yang sedang jatuh, tertimpa tangga pula. Dan ini sudah masuk kategori kejahatan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua puluh empat, ketika pintu rumah kami diketuk. Dan di hadapan kami anak bungsu dengan ransel pakaian dan tas yang sarat oleh-oleh buat kami berdua. Sambil mengamati oleh-oleh yang anak bungsu bawa, penulis sempat menoleh ke gelas kopi yang sudah kosong. Tersirat sebuah kalimat bijak. Berhentilah marah dan tinggalkan panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kejahatan. Terima kasih Tuhan, sudah diingatkan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H