Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lupa...

23 Oktober 2023   15:07 Diperbarui: 23 Oktober 2023   15:15 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak anak-anak satu persatu meninggalkan rumah untuk merantau di luar kota, ditambah lagi saat penulis menginjak masa pensiun, mereka seringkali kepikiran. Karena yang ada di rumah tinggal kami berdua isteri. Sudah sejak lama anak-anak menyarankan untuk memelihara anjing untuk teman di rumah. Selain sebagai mahluk hidup yang setia, anjing bisa dididik sesuai arahan kita dan bisa diajak bercanda.

Tadinya kami masih enggan. Tetapi setelah sekian waktu berjalan dengan anjing pomeranian yang lucu, yang senantiasa menemani kami di rumah, membuat isteri penulis yang tadinya takut sama anjing, sekarang malah jatuh hati. Bahkan seorang kawan yang sama-sama memelihara anjing pomeranian yang saking sayangnya, malah disarankan untuk konsultasi ke psychology oleh dokter hewan karena terlalu lebay perhatiannya sama anjing pomeraniannya.

Penulis memang tidak ahli dalam dunia per-anjing-an. Tetapi fakta membuktikan, bagaimana setianya seekor anjing kepada majikannya patut diacungi jempol. Seperti halnya anjing penulis yang selalu menemani di kolong meja, saat penulis menyusun artikel. Atau setia duduk menemani penulis yang sedang berkebun atau menyiram tanaman.

pexels.com
pexels.com

Tetapi ternyata dunia per-anjing-an tidak selamanya mulus, semulus paha sapi yang berwarna putih. Suatu ketika seorang kawan penulis, memberi kabar dari sebuah rumah sakit, karena sedang menjalani tujuh jahitan di tangan kanannya. Mendengar kabar seperti itu, penulis kira akibat kecelakaan lalu lintas. Ternyata tidak. Jahitan yang dilakoninya itu disebabkan karena gigitan dan tarikan anjing kesayangannya, yang sudah dipelihara beberapa tahun belakangan. Koq bisa ?

Dari kesaksian isterinya, rupanya si anjing ini naik pitam karena diledek majikannya, yang notabene kawan penulis ini. Kawan ini ceritanya sedang makan yang menjadi kesukaannya. Dan dia dengan sengaja menyorongkan sisa makanan yang di tangannya di depan wajah anjingnya, tetapi kemudian ditarik lagi olehnya. Sekali anjingnya mendiamkan. Dua kali si anjing mulai menaikkan kedua telinganya. Ketiga kalinya si anjing masih menahan kesabarannya. Keempat kalinya si anjing sudah berubah raut mukanya. Dan ketika kelima kalinya merasa dipermainkan oleh kawan penulis, tanpa ba bi bu tangan kanan kawan penulis disambar dan digigit dengan kerasa, sambil menariknya. Sakit ? Tentu saja.

Apakah si anjing lupa bahwa yang digigit itu majikannya ? Karena sebagai mahluk apapun ketika merasa dipermainkan, tentu akan meresponnya dengan segala yang menjadi kekuatannya. Kalau sekaliber anjing saja memiliki daya sensor naluri untuk memunculkan tumbuhnya sebuah akar kepahitan. Apalagi manusia, yang memiliki daya nalar, hati yang penuh welas asih dan kemampuan berpikir untuk mengolah segala kejadian yang menimpanya.

pixabay.com
pixabay.com

Sama halnya ketika kita sebagai orang tua, yang mendidik anak-anak sejak dari lahir sampai tumbuh dewasa dan bisa mampu hidup mandiri. Ketika kemudian setelah berumah tangga anak-anaknya tidak peduli akan kehidupan orang tuanya yang kondisi fisiknya makin merosot dan perlu perhatian anak-anaknya. Sakit ? Tentu saja.

Kemarin saat penulis lihat berita di salah satu televisi nasional yang memberitakan bagaimana ketiga orang anak dan menantunya tidak mau merawat bapaknya yang sakit-sakitan dengan alasan yang tidak masuk akal. Sekalipun sudah dijembatani oleh para orang tua di lingkungannya sampai dengan tokoh agamapun di datangkan. Tetapi semua anak-anaknya bersikukuh tidak mau merawat bapaknya yang hidup sebatangkara setelah ditinggal mati isterinya, di rumah yang tidak lagi pantas disebut rumah.

Apakah serial malin kundang beraksi kembali ? Ataukah memang seperti kata pepatah kacang lupa akan kulitnya ? Entahlah. Tetapi ini fakta yang ada di sekitar kita. Kadang kala kita lupa, atau pura-pura lupa, atau benar-benar lupa, atau memang sengaja me-lupa-kan akan kebaikan orang yang sudah merawat dan memelihara. Bahkan bisa jadi juga lupa kepada Sang Khalik.

pixabay
pixabay

Seperti kisah nyata yang tertulis di Kitab Suci. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan megucap syukur kepada-NYA. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata : “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Dimanakah yang sembilah orang itu? Tidak adakah diantara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini ?”

Ketika sebuah pertanyaan yang sama diajukan kepada kita saat kita beroleh segala kemudahan dan fasilitas dari Tuhan Semesta Alam, termasuk golongan manakah kita ? Pasti kita akan menjawab, kita termasuk golongan yang satu orang (orang Samaria). Mengapa ? Karena merasa sudah beroleh kemudahan, jabatan dan segala fasilitas yang luar biasa ? Apakah pada prakteknya seperti itu ? Belum  tentu !

Menjadi suatu hal yang mengusik hati nurani, ketika peristiwa sepuluh orang kusta diperhadapkan kepada kita. Tuhan Yang Maha Kuasa sedang membawa kita untuk memaknai sampai sejauh manakah arti sebuah ucapan syukur yang kita berikan kepada-NYA. Intinya begini, untuk sebuah Kasih Anugerah yang besar yang sudah diperlihatkan pun, hanya satu orang yang tulus mengucap syukur. Apakah yang lain lupa atau sengaja melupakan ?

pixabay.com
pixabay.com

Jadi apakah karena nafsu orientasi jabatan semua yang dibungkus dalam bingkai politik dipertaruhkan dengan cara menabrak batas moral dan etika ? Sungguh, masihkah kita bisa mengucap syukur berapa liter oksigen yang sudah kita hirup setiap harinya secara gratis ? Masihkah kita bisa mengucap syukur buat mata kita yang bisa melihat berjuta warna ? Masihkah kita bisa mengucap syukur buat lidah kita yang bisa merasakan aneka rasa dari masakan yang kita makan ? Masihkah kita bisa mengucap syukur buat otak kita yang mengendalikan dari seluruh jaringan organ tubuh kita ? Masihkah kita bisa mengucap syukur buat kesehatan kita sepanjang hari ini ?

Ketika kita sudah melupakan untuk hal-hal yang seperti ini, karena menganggap itu bukan lagi hal yang luar biasa, maka sejatinya kita sedang hidup dalam pusaran nafsu yang akan menenggelamkan hidup kita sampai ke titik nadir. Tanpa lagi lagi bisa melihat sisi kebaikan Sang Khalik. Layaknya kata-kata bijak. Orang bodoh tidak akan mengetahui, dan orang bebal tidak akan mengerti hal itu. Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun