Waktu baru saja menunjukkan jam sepuluh malam di hari Jum’at kemarin. Ketika tiba-tiba hujan mengguyur wilayah dimana penulis tinggal. Tidak hanya gerimis. Tetapi benar hujan yang lebat, sampai-sampai genteng di belakang rumah yang belum lagi tertata, karena terkena imbas akibat tetangga yang sedang merenovasi rumahnya belum selesai, meneteskan air di berbagai titik. Cukup lama hujan saat itu. Kurang lebih ada satu setengah jam. Tetapi itu cukup membuat hati dan pikiran jadi adem.
Sambil menunggu barangkali Tuhan kirim hujan lagi, penulis berdua isteri menikmati Sabtu sore yang syahdu dengan duduk di teras depan rumah. Tak lupa secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng menemani. Di jalanan depan rumah, ada beberapa anak yang bermain dan berkejaran sambil juga menunggu hujan turun. Karena saat itu cuaca rada mendung mendukung.
Tiba-tiba isteri nyeletuk, kita ini termasuk generasi yang bisa menikmati permainan masa lalu hingga masa kini. Benar juga. Mendadak jadi teringat bagaimana waktu kecil , kami masih bisa melakukan permainan yang mungkin generasi sekarang sudah tidak mengenalnya lagi. Ada permainan petak umpet, gobak sodor, bentengan, layangan, kelereng, engklek, lompat tali karet, karet gelang, egrang, bola bekel, cublak-cublak suweng, congklak dan masih banyak lagi yang penulis lupa namanya.
Rasanya dunia penuh petualangan dan seru, Belum lagi kalau sudah ketemu teman-teman sepermainan. Bisa lupa waktu. Kalau orang tua atau kakak tidak berteriak minta kami pulang, rasanya permaianan akan terus berlanjut sampai malam. Seperti yang ada di hadapan penulis saat ini, jadi mengingatkan masa lalu. Mungkin bagi anak-anak di perumahan penulis tinggal hanya sabagian kecil yang masih bisa berkejaran dan bermain satu dengan yang lainnya tanpa menenteng handphone andalan masa kini.
Karena perkembangan jaman yang demikian cepat berubah, dimana keaneka ragaman sosial sedang berubah ke arah individualistis. Seperti fenomena yang saat ini gencar dilakukan oleh hampir setiap orang. Itulah Phubbing, sebuah kependekan dari phone snubbing, sebagai istilah untuk orang yang lebih fokus kepada gawainya, daripada lingkungan sekitar. Â Sebuah tindakan yang dilakukan orang per orang dengan bersikap acuh dalam sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gawai ketimbang berinteraksi atau melakukan percakapan.
Dan ini seringkali kita sendiripun melakukannya tanpa sadar. Bisa kita lihat dengan mudah saat kita duduk di sebuah rumah makan atau tempat lainnya. Dimana sebuah keluarga lebih asyik memainkan ponsel mereka masing-masing daripada ngobrol bersama. Dan ini sepertinya sudah menjadikan ponsel menjadi sebuah berhala yang tidak bisa dipisahkan.
Lalu isteri penulis masih nyeletuk juga. Dulu kita masih bisa merasakan televisi hitam putih yang kotaknya bisa segede gaban. Radio yang hanya mengudara lewat Radio Republik Indonesia dengan daya yang menggunakan batu baterre. Mendengarkan lagu-lagu lewat piringan hitam atau kaset yang pitanya sering molor, sehingga nada lagunya jadi kendor. Bisa foto diri dengan kilatan lampu yang menyentak mata. Dan harus berdiri kaku layaknya tugu. Karena kalau badan goyang hasil fotonya jadi membayang.
Betul juga. Belum lagi serunya kita bisa bermain dan bersekolah bersama-sama dengan berbagai strata, entah dari suku mana, entah dari etnis mana. Karena kawan sekolah penulis juga ada yang bertetnis Tionghoa dan Arab. Tidak hanya seperti kondisi sekarang. Ada anak yang karena alasan tertentu, hanya ikut program homeschooling. Jadi serunya dimana ? Bahkan masa tuanyapun tidak mengenal apa itu reuni. Benar ?
Â
Ketika sebuah permainan di area sosial berubah dan membuat serta menjadikan kita acuh dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, bisa dibayangkan juga bagaimana hebatnya perilaku permainan individual ini terhadap hubungan kita selanjutnya dengan Sang Khalik. Karena sekelebat ini bisa menjadikannya berhala. Mungkin kita masih berkelit, ponsel contohnya. Itu sebuah alat yang sangat dibutuhkan sehari-hari. Tanpa ponsel ibarat makan sayur tanpa garam. Tetapi sebenarnya di sinilah ketergantungan itu terjadi.
Tetapi tidakkah kita sadar bahwa itu adalah salah satu cara kerja oknum yang dapat menjauhkan kita dari rasa Iman dan Kasih dan terlebih menjauhkan kita dari Sang Pencipta ? Jangan berpikir bahwa yang namanya berhala adalah patung atau sejenisnya. Segala sesuatu yang bisa mengambil alih kehidupan kita dari Kasih Tuhan Semesta Alam, sehingga kita menjadi bergantung kepada sesuatu, itulah berhala ! Dan tentu saja ibarat syair lagu. Ketika itu dengan kukuh dipertahankan, kita sedang mendua hati dengan Tuhan.
Beda koki , beda masakan, Beda generasi beda racikan. Tetapi sampai dimanakah kita menyadari posisi kita sekarang. Masihkah kita mau hidup bersosialisasi atau hidup dengan mementingkan hidup sendiri dengan tetap beragumen bahwa itulah kehidupan masa kini ? Seperti kata-kata bijak yang tertulis. Bertobatlah dan berpalinglah dari berhala-berhalamu dan palingkanlah mukamu dari segala perbuatan-perbuatanmu yang keji. Mendekatlah kepada Tuhan, dan Tuhan akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa ! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati !. Tanpa sadar sudah terdengar suara orang tua anak-anak di depan rumah yang memanggil mereka segera pulang. Berakhirlah permainan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H