Rasanya penulis bersyukur, saat menikmati masa-masa pensiun sampai hari ini. Masih ada komunitas yang bisa berbagi tawa berbagi cerita, bahkan berbagi derita. Terlebih diantara komunitas ini bisa saling menguatkan apabila ada seorang yang sedang terjatuh atau terimpa masalah yang bisa jadi tidak bisa diungkapkan dan diceritakan kepada sembarang orang. Karena sudah saling percaya satu dengan yang lain.
Tetapi di luar arena sana, sungguh, kadangkala penulis secara pribadi tidak habis pikir, bagaimana bisa terjadi di sebagian banyak orang, mereka bisa menumpahkan isi hatinya  dan kegalauannya di media sosial secara vulgar. Seakan apa yang dialami lewat gejolak batinnya bisa terpuaskan lewat tulisan, tindakan maupun perkataan yang bisa diekspose.
Bahkan sampai urusan pribadi, urusan keuangan sampai urusan ranjangpun bisa ditampilkan tanpa tedeng aling-aling dan tanpa adanya rasa risi sama sekali. Jaman memang sedang berubah secara cepat. Apakah penulis yang ketinggalan jaman dalam meraungi kehidupan yang makin majemuk, ataukah penulis yang masih terlalu kaku dalam tata krama dan masih memegang kuat pelajaran budi pekerti dan adat istiadat yang penuh anggah ungguh ?
 Â
Menjadi sebuah pertanyaan, apakah postingan di media sosial itu bisa meredakan kegelisahan dan kegalauan yang ada dalam hidupnya dengan mengumbar secara membabi buta ? Sekalipun kita semua tahu, tidak semua babi itu buta. Atau apakah itu tidak terpikir kalau postingannya bakalan menjadi pisau bermata dua bagi dirinya ? Karena ketika kemudian timbul masalah di kemudian hari akibat postingan yang vulgar, yang terjadi adalah penyesalan di belakang. Kalau di depan tentu saja namanya pendaftaran.
Atau ada juga yang melampiaskan curahan hatinya kepada orang lain yang mungkin sudah dianggap sebagai sahabat atau dianggap sebagai orang terdekat. Bahkan saking percayanya, kehidupan pribadinya bisa diceritakan semuanya tanpa tedeng aling-aling. Dan menjadi sebuah pertanyaan juga, sampai dimana ada jaminan, bahwa orang lain yang sudah dianggap paling dekat bisa menjamin kerahasiaannya tanpa batas waktu. Karena banyak juga, yang ternyata tidak bisa menjaga kerahasiaan. Orang bilang dengan istilah ember. Sehingga keluh kesah dan curahan hati kita, ternyata bisa beredar ke orang lain tanpa kita ketahui.
Jadi kepada siapa kita harus menumpahkan curahan hati dengan jaminan kerahasiaan terjaga seratus prosen ? Sebuah nasehat memang pada dasarnya diperlukan di tengah kegalauan yang melanda. Percayalah kepada-NYA setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-NYA, Tuhan ialah tempat pelindungan kita.
Kedewasaan dalam berpikir dan bertindak serta kedewasaan dalam iman, akan membatasi diri dalam mengungkapkan curahan hati yang sedang kita alami. Bukan berarti tidak percaya kepada orang terdekat. Bukan juga tidak percaya kepada media sosial. Tetapi bijaksana dalam memilah sehingga tidak digebyah uyah dalam mengungkapkannya. Ibaratnya jangan sampai dapur kita diketahui banyak orang.
Seperti sebuah fotocopy, sekali lagi kepada siapakah kita perlu menumpahkan curahan hati kita. Bukan lewat media sosial atau lewat kawan terdekat sekalipun. Karena ketika kita percaya dalam koridor keimanan yang kita pegang, bahwa Sang Khalik lah yang bisa menampung curahan hati kita sekaligus memberikan jalan keluar yang terbaik. Dan ketika komunikasi itu dilakukan secara pribadi, maka hal yang kita rasakan adalah adanya ketenangan. Seperti kata bijak berikut. Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-NYA lah harapanku. Begitu seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H