Sudah dua bulan lewat isteri tercinta mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh. Sudah dua kali berobat di Klinik Kesehatan berstandar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan belum juga reda. Karena batuknya tidak kunjung berkurang akhirnya disarankan doketr BPJS untuk diperiksa ke dokter spesialis paru-paru yang katanya tidak bisa pake kartu BPJS. Ya apa boleh buat. Sekalipun rasanya tidak nalar. Batuk koq sedikit-sedikit. Sedikit-sedikit koq batuk.
Singkat cerita, hasil diagnosis dokter spesialis untuk segera dilakukan tindakan test alergi. Belum kebayang ini mahluk apalagi. Dan berapa lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang pensiunan kayak penulis ini. Dari beberapa test alergi yang dokter lakukan, memang ternyata isteri penulis mengalami alergi beberapa jenis. Salah satu dan salah tiganya adalah alergi terhadap debu, alergi terhadap minyak goreng curah dan alergi terhadap minuman teh. Ya teh. Padahal sejak menikah hingga usia perkawinan ke tiga puluh delapan tahun dengan penulis, tiap kali pagi dan sore senantiasa minum teh produk kota Tegal-Slawi.
Tetapi sungguh diakui penulis dan isteri, karena diagnosis dokter spesialis paru-paru ini hampir tidak jauh beda dengan dokter di Klinik Kesehatan awal. Ada kecenderungan juga, batuk yang berkepanjangan ini, dampak dari Covid yang pernah menyerang kami berdua. Dan minum teh dengan menyemil gorengan yang dibeli di luar rumah adalah salah satu pemicu batuk. Jadi tinggal bagaimana pinter-pinternya menyiasati alergi tersebut.
Kalaupun alergi debu, itu bisa dikatakan karena gangguan tetangga belakang dan samping yang sedang merenovasi rumah. Bisa dibayangkan bagaimana dengan cuaca yang panas membara dan angin yang tiba-tiba saja berhembus kencang membawa partikel debu yang jumlahnya tidak terhitung menyergap rumah kami. Ibarat buah simalakama, pintu dan jendela rumah dibuka, debu berhamburan masuk ke dalam rumah. Tidak dibuka, kondisi dalam rumah menjadi pengap dan gerah. Mau pasang air conditioner seharian, bakalan bengkak biaya pulsa listriknya. Dilema bukan ?
Siang yang panas ini dengan suhu tiga puluh enam derajat celcius yang tertera di apliikasi hape yang sudah lewat usia tiga tahun. Penulis mencoba melihat mobil tua yang terpakir di depan rumah dengan terpal tipis yang menyelimuti biar tidak dihujani debu. Rasanya jadi tidak tega mobil kesayangan isteri jadi bulukan ketimpa debu yang tebal. Akhirnya penulis berinisiatif membawanya ke tukang cuci mobil terdekat dari rumah.
Sambil menunggu cucian mobil selesai, penulis sempatin mengobrol dengan seorang bapak yang seumuran dengan penulis, dengan cucu lelaki yang menemaninya. Dilihat dari postur tubuhnya si cucu ini masih sekolah di tingkat sekolah dasar. Dari obrolan singkat dengan bapak ini, beliau mengeluh akan tabiat dan perilaku cucunya yang dinggap sudah tidak nalar lagi. Apa pasal ?
Pernah suatu saat, ketika cucunya dimarahi oleh orang tuanya, yaitu bapaknya, si anak ini diam-diam pergi ke kamarnya dengan membawa baju bapaknya. Dan tanpa basa-basi, si anak ini langsung menggunting baju bapaknya dengan penuh rasa marah di hati. Perbuatan anak ini ternyata mengagetkan semua penghuni rumah. Karena si cucu dan kedua orang tuanya masih tinggal bersama orang tuanya. Istilahnya masih tinggal di pondok mertua indah.
Rasanya bukan kelurganya saja yang kaget akan perbuatan si anak tersebut. Penulispun saat mendengar cerita dari bapak ini sungguh kaget dan miris. Bagaimana tidak ? Bisa kebayang kalau seorang anak kecil sudah menanam akar kepahitan dan dituangkan dengan bentuk perbuatan yang di luar nalar buat anak-anak seusianya, bagaimana kelak di kemudian hari ?