Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maksud Hati

3 Oktober 2023   21:35 Diperbarui: 3 Oktober 2023   22:04 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis tidak mengira kalau anak kedua memiliki banyak teman dari segala jenis lapisan. Tidak hanya dalam lingkungan kerjanya. Tetapi justru banyak teman di luar area kerjanya. 

Alasannya cukup klasik. Kalau hanya berteman di lingkup kantornya, pembicarannya tidak bakal melebar dan hanya seputar pekerjaan saja ditambah gossip-gosip. Tetapi kalau berteman dengan semua type orang, kita bakalan dapat wawasan lebih. Tahu yang riil dan lebih tahu mana yang hoax. Benar juga.

Sama halnya kehidupan penulis sebagai seorang pensiunan yang tinggal berdua dengan isteri tercinta di rumah. Karena ketiga anak penulis sudah hidup mandiri di luar kota. Mau tidak mau perlu adanya komunitas yang bisa berbagi rasa. Entah dalam suka dan duka. Karena kedekatannya dengan anggota komunitas inilah bisa melebihi saudara kandung.

Merasakan secangkir kopi hangat sambil mendengar kisah kawan yang merasa tidak disukai oleh adik-adik kandungnya. Bahkan ketidaksukaannya kepada kawan penulis sudah merembet ke isteri dan anak-anaknya. Dilihat dari kemapanan hidup kawan penulis, memang jauh di atas adik-adiknya. Bisa jadi ini yang membuat saudara kandungnya timbul ketidaksukaan bahkan kebencian. Cerita tidak berhenti di situ.

pixabay.com
pixabay.com

Karena kawan penulis ini kemudian membuka kisah hidup masa kecilnya. Dia sejak kecilnya sudah berusaha mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya. Kehidupan yang dibawah garis kemiskinan ditambah orang tuanya yang pemabuk, membuat dia mengambil alih peran orang tuanya. 

Bagaimana kawan penulis ini berusaha mati-matian untuk menghidupi orang tua dan menyekolahkan adik-adiknya hingga semua lulus sekolah dengan nilai yang terbaik. Tetapi justru kawan penulis ini yang mentah sekolahnya. Dia hanya sampai Sekolah Teknik Menengah, itupun tidak sampai tamat sekolah, karena keburu di keluarkan karena nilai raportnya merah membara.

Yang menjadi masalah sekarang adalah, ketika kehidupan kawan penulis ini mapan secara ekonomi, adik-adiknya banyak menuntut dan membawa rasa sakit hati yang berkepanjangan. 

Ketika penulis tanya, apakah sepanjang sejarah adik-adikmu tahu betul siapa yang menjadi tulang punggung keluarga ? Kawan penulis menjawab, tidak pernah dan tidak mau bercerita apa yang sudah dia lakukan buat orang tua dan adik-adiknya. Dia merasa perbuatan baiknya tidak perlu diketahui oleh adik-adiknya.

Memang ada benarnya, ketika seseorang merasa bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Seperti halnya apa yang tertulis dalam Kitab Suci, tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun