Mungkin sudah sering kita dengar kalimat singkat yang menyadarkan akan arti sebuah perjalanan kehidupan. Begini kalimat itu, satu orang musuh kebanyakan tetapi seribu kawan masih kurang. Kalau dibaca selintas rasanya biasa saja. Tetapi kalau kita coba hayati lebih dalam lagi, betapa mengiyakan kalimat tersebut, di tengah hiruk pikuknya warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani.
Seperti membuka album lama yang sudah berdebu. Layaknya membuka ingatan lama saat masih kanak-kanak dan mulai belajar interaksi dengan lingkungan sekitar. Mulai berkenalan dengan anak tetangga seusia, berlanjut bermain bermain bersama sampai tidak kenal waktu. Bahkan kalau orang tua tidak memanggil pulang untuk mandi dan makan, acara bermain bersama mungkin akan terus berlanjut sampai malam hari.
Dari awal adanya interaksi inilah dimulainya fase kehidupan yang bisa menilai sisi kebaikan dan sisi keburukan dari karakter masing-masing teman sepermainan. Dan disinilah mulai dikenalkan adanya musuh. Entah musuh dalam selimut atau musuh di luar selimut, yang pada akhirnya membawa kepada tingkat kedewasaan untuk bisa membedakannya.
Memang lidah tak bertulang tak berbekas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati. Sebuah syair lagu lama yang bisa dimaknai sebatas mana kita sadar diri akan adanya dugaan sebuah permusuhan yang diawali dari seorang musuh yang berselimut. Dan sebaliknya, sampai dimana kesadaran kita akan datangnya seribu kawan yang bisa datang tiba-tiba dengan segala kebaikannya.
Seperti dua minggu kemarin ketika tiba-tiba kami kedatangan besan dari Jakarta dengan kawan-kawannya dari luar pulau Jawa yang sedang travelling keliling Jawa. Ada rasa baru, karena bisa berkenalan dengan kawan baru yang beda profesi dan beda usia. Diantara kami berenam, yang paling muda usia ternyata penulis. Malah ada yang sudah usianya mendekati tujuh puluh tahun.
Satu hal yang penulis lihat, adalah wajah-wajah mereka yang energik dan ceria meski sudah dimakan usia. Tidak ada terpacar rasa lelah, sekalipun sudah marathon melintasi Jawa sepanjang enam hari. Dimulai dari Jakarta, Cirebon, Kuningan, Surakarta, Jogyakarta, Borobudur dilanjut ke Surabaya, Tretes dan Semarang.
Buat seusia mereka rasanya menjadi hal yang mengasyikkan, apalagi di Semarang penulis coba antar ke tempat-tempat yang mereka anggap sesuatu yang baru dengan tidak terikat waktu seperti wisata dengan travel. Menikmati sekali suasana Bandungan, Gedong Songo, Kopeng dan Ketep Pass.
Suatu pagi di Villa yang mereka tempati di kawasan Bandungan, Semarang kami terlibat pembicaraan yang menarik. Dari pengalaman hidup sampai batas-batas usia kehidupan yang coba mereka nikmati. Salah seorang dari kawan kami bercerita tentang perjalanan hidupnya sejak masa kecil yang hidup sebagai keluarga miskin. Tetapi berjalannya waktu kawan ini menjadi sosok yang paling dikenal usahanya di bidang kontraktor di salah satu propinsi di luar Jawa. Tetapi ada sisi menarik saat penulis tanyakan kegiatannya saat ini.
Dan di luar dugaan penulis, kawan ini menjawab dengan santainya, saat ini sudah pensiun. Bahkan sejak tahun kemarin, kawan ini sudah menolak proyek-proyek yang ditawarkan dari pemerintah setempat, yang biasanya menjadi langganan pekerjaannya. Sebuah pernyataan yang jarang penulis dengar secara langsung. Karena sepengetahuan penulis, banyak cara yang dilakukan kontraktor-kontraktor untuk mendapatkan kue proyek pemerintah. Bahkan dengan cara apapun dilakoninya untuk mendapatkan bagian jatah proyek dari pemerintah.
Sambil menghirup kopi pahit yang masih mengepul dan jari tangannya memegang pisang goreng, yang menjadi menu wajib di saat minum kopi, kawan ini kembali melanjutkan pembicaraannya. Singkat saja. Kawan penulis  ini ingin menikmati sisa hidupnya bersama keluarga yang dicintainya tanpa ada musuh di sekelilingnya yang seakan mau menjegal di setiap pekerjaan yang dilakukannya.
Secara langsung kawan ini berkata, sadar diri akan usia, kemampuannya dan yang paling penting menghindari konflik batin yang seringkali dialaminya saat mendapat proyek. Banyak musuh dalam selimut yang dijumpainya, menyebabkan kawan ini segera memutuskan untuk pensiun dari bidang pekerjaannya. Apakah gak sayang ?
Satu jawaban pamungkas kawan ini lontarkan. Mending menikmati hidup dengan orang-orang yang tersayang daripada punya musuh dalam kehidupannya, sekalipun musuh itu hanya seorang. Tetapi sejatinya lebih dari seorang alias kebanyakan.
Matahari mulai meninggi. Dan kami bersiap untuk menikmati suasana Gedongsongo yang masih diselimuti kabut tipis. Sebuah tarikan nafas seakan menjadi aliran kedamaian. Sambil mengingat sebuah kalimat. Satu musuh kebanyakan, seribu kawan masih kurang. Begitu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H