Kadangkala dalam melangkah melewati hari lepas hari, tidak luput dari kejadian-kejadian yang tidak kita duga sebelumnya. Seperti halnya apa yang dialami minggu lalu, dengan kendaraan kami saat dalam perjalanan ke Bandung. Dan kejadian seperti itu, yang tidak kita duga bisa saja menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
Sebuah rumah yang sudah berpenghuni sekian tahun di tempat perumahan penulis tinggal, tanpa diduga berakhir mangkrak, setelah hampir dua tahun diratakan dengan tanah. Awalnya, si penghuni memohon ijin dengan tetangga kanan kiri dan belakang untuk merenovasi besar-besaran rumah yang sudah ditinggali beberapa tahun. Bukan kebetulan rumah penulis berada tepat di belakangnya.
Berjalannya waktu, setelah kolom-kolom beton berdiri tegak, entah kenapa tiba-tiba tanpa diduga tidak terlihat lagi aktifitas para tukang, yang biasanya ramai bekerja. Penulis kira, ada gangguan dalam pendistribusian material atau ada masalah dengan pemborongnya. Tetapi ternyata tanpa ada kabar lagi sampai sekarang. Tiang-tiang kolom dibiarkan berdiri mematung sendiri, ditemani besi-besi beton yang akhirnya berkarat. Dan akhirnya bangunan ini dibiarkan mangkrak begitu saja. Sesuatu yang tidak diduga sebelumnya.
Seperti halnya ketika penulis bertemu dengan seorang kawan lama, yang sekarang tinggal tidak jauh dari kota Semarang di hari Minggu kemarin. Membuat percakapan antar lintas waktu menjadi semakin seru dengan pengalaman-pengalaman yang dihadapinya. Memang ada beda usia diantara kami. Ada sekitar lima belas tahun bedanya.
Tetapi itu tidak menjadi halangan buat menghabiskan waktu dua jam di hari Minggu. Sungguh membuat hati terpana, ketika dia bercerita tentang ada anggota keluarga dekatnya yang terhilang, karena faktor pembiaran yang dilakukan kedua orang tuanya. Sebuah masalah yang boleh dikatakan sepele pada awalnya, tetapi berakhir tragis.
Dia lalu bercerita, sejak masa kecilnya, si anak sudah terbiasa dengan perlakuan orang tuanya yang membiarkan segala sepak terjangnya. Kalaupun ada kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anaknya, kedua orang tuanya tidak pernah tegas menegur. Apalagi menghukum. Tentu saja dengan alasan klasik, kata kasihan sebagai tamengnya. Dan itu dibiarkannya terus.
Bahkan sampai dewasapun, kedua orang tuanya tidak berani menegur si anak untuk mengontrol kegiatannya. Rasa sayang dan rasa melindungi yang berlebihan itu menjadikan kedua orang tuanya takut untuk menegur. Apalagi ketakutan kalau anaknya sampai marah. Bisa dibayangkan, si anak bangun tidur siang hari, dibiarkan. Pulang malam dibiarkan. Suatu kali kedua orang tuanya menegur kepada anaknya, karena rumahnya dianggap sebagai hotel, tempat bermalam saja. Dan bisa ditebak, si anak bukannya merasa bersalah, tetapi malah melampiaskan kemarahannya kepada kedua orang tuanya. Sungguh kebablasan.
Sampai akhirnya si anak bekerja, setelah lulus Sekolah Menengah Atas. Tempat bekerjanya kurang lebih hanya dua kilometer dari rumah kedua orang tuanya. Tetapi yang dilakukannya adalah, dia malah kost deket kantornya. Dan kembali orang tuanya membiarkan saja. Sampai pada akhirnya si anak dipecat dari tempat kerjanya karena menghamili teman satu kantornya. Miris.
Jaman memang sudah banyak berubah. Tetapi apakah ini kesalahan jaman ? Tentu saja tidak bukan ? Sebuah pembanding saat penulis masih kanak-kanak. Bagaimana efektifnya pelajaran budi pekerti yang diajarkan guru-guru di sekolah dan dipraktekkan di rumah. Rasanya jadi ingat sebuah pesan. Hormatilah ayah dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Bukan sebuah kebetulan kalau penulis bisa menimpali obrolan dengan kawan lama. Memang sekarang banyak rumah tangga pemula yang belajar segala sesuatu lewat google. Bukan dengan belajar dari para orang tua sebelumnya. Belum lagi para orang tua pemula mungkin lebih sibuk dengan dunia maya, sehingga saat anaknya merajuk, merengek, sampai menangis, para orang tua pemula ini lebih suka memberikan gadgetnya untuk dimainkan sang anak daripada menanyakan sebab musababnya si anak menangis.
Dan satu hal lagi, bisa jadi ada para orang tua yang lebih suka memanjakan anak dengan menuruti segala permintannya dengan alasan kasihan. Tanpa memikirkan dampak kelanjutan hidup sang anak di kemudian hari. Ada sisi-sisi yang bisa timbul tanpa diduga sebelumnya lewat akting anak-anak yang dibiarkan hidup dengan kacamatanya sendiri. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H