Buat penulis, Yogyakarta adalah seperti kota kedua selain kota kelahiran penulis sendiri. Kota yang penuh kenangan dengan suka dan duka, canda tawa dan juga penuh kejutan seperti nikmatnya minum kopi jos di bawah pohon beringin Pakualaman. Membayangkan kembali segelas kopi hitam yang masih panas lalu ditambahkan sepotong arang yang masih membara, yang diambil dari tungkunya. Jos ..! begitu bunyinya saat arang masuk ke dalam gelas kopi. Entah apakah sampai hari ini masih ada atau tidak. Karena sudah lama penulis tidak ke Pakualaman.
Menghabiskan waktu beberapa tahun di Yogyakarta, sebelum akhirnya pindah ke kota minyak Balikpapan, untuk mengadu nasib. Teringat saat itu penulis tinggal di kawasan Keraton Yogyakarta, tepatnya di dalam gerbang Pracimasono, alun-alun lor. Bukan suatu kebetulan, kalau saat itu isteri bekerja sebagai sekretaris KBPH Hadiwinoto (almarhum). Sehingga kami bisa mendapatkan rumah di Pracimasono.
Menjadi kagok rasanya, ketika penulis yang bukan asli Yogyakarta, apalagi bukan trah darah biru, bisa tinggal di kawasan keraton Yogyakarta. Apalagi isteri yang berdarah campuran Sangir dan Banten. Tetapi rasa kecanggungan kami perlahan memudar, seiringnya kami bergaul dan berinteraksi dengan sesama penghuni yang memiliki pembawaan sopan dan rendah hati, hasil tempaan sebagai penyandang status abdi dalem.
Berjalannya waktu, kami kemudian pindah ke kota minyak Balikpapan untuk bekerja di sektor swasta. Dan selanjutnya terus berpindah dari suatu kota lain sampai akhirnya bersandar di pelabuhan terakhir, yaitu di kota lumpia Semarang sampai purna tugas sebagai abdi negara.
Suatu saat ketika penulis masih aktif dinas, pernah punya seorang pimpinan yang memiliki tabiat yang seharusnya tidak dilakukannya. Ketika ada masalah yang memberatkan dan menguras energi, maka staf lah yang ditugasi untuk menghadapi masalah tersebut. Tetapi ketika masalah itu terselesaikan, maka dia akan bercerita kepada orang lain, bahwa dialah yang sudah merampungkan persoalan itu.
Dari kaca mata pribadi, itu anggap saja sebagai tugas abdi negara. Tetapi jujur saja, saat itu penulis merasa ada yang mengganjal di hati. Sepertinya status pekerjaannya hanyalah tambal butuh. Pada saat sudah tidak diperlukan lagi, maka seakan dionggokkan disudut ruangan. Sabar ? Tentu saja harus tetap dihadapi.
Di lain waktu dan di lain tempat ada juga pimpinan yang memiliki tabiat aneh bin ajaib. Setiap rapat-rapat yang diadakannya, bukan solusi yang diambilnya. Malah kondisinya dikembalikan kepada staf-stafnya. Jadi akhirnya para staf malas untuk buka suara di saat rapat. Karena tabiatnya yang tidak pas. Sampai-sampai dikatakan, bahwa rapat itu namanya konsultasi, kon sing usul kon sing ngatasi. Artinya kurang lebih demikian, kamu yang usul, kamu yang mengatasi. Lha ?