Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemimpin....

20 Mei 2023   12:10 Diperbarui: 20 Mei 2023   12:30 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
httpspixabay.comidphotossmilies-karakter-bersama-pemimpin-3298337

Sekali waktu penulis pernah berkesempatan bincang-bincang dengan salah seorang Pejabat Fungsional kala penulis aktif berdinas. Salah satu pembicaraannya adalah masalah permohonan mutasi salah seorang stafnya. Sambil menikmati kopi Arabica dan sepiring pisang goreng kesukaan beliau, pembicaraan terus berlanjut. Beliau katakan, kalau di dalam kantor, ada seorang yang meminta mutasi atau pindah lokasi kerja adalah hal yang wajar.

Kalau kemudian yang meminta mutasi dalam waktu yang bersamaan, ada dua orang itu dianggap biasa. Kalau kemudian yang meminta mutasi pada waktu yang sama, ada tiga orang, kita perlu tanda tanya. Kalau kemudian berkembang menjadi empat orang yang memohon mutasi di saat yang bersamaan, kita perlu waspada. Dan kalau kemudian yang meminta mutasi ada lima orang atau lebih dalam waktu yang bersamaan, itu tandanya saya yang harus pindah dari tempat ini. Sebuah pembelajaran dari nilai manusiawi yang masih ada rasa ewuh pekewuh dan kerendahan hati.

httpspixabay.comidphotosrelaksasi-kopi-smartphone-musik-1388228
httpspixabay.comidphotosrelaksasi-kopi-smartphone-musik-1388228

Memang tidak selamanya mendung itu kelabu. Ada juga saatnya tiba-tiba turun hujan lebat. Seperti saat penulis masih aktif bertugas di Solo, pernah dipimpin oleh seorang Kepala yang tidak pernah mau mendengar masukan dari stafnya. Dia merasa bahwa apa yang akan dilakukan selalu benar. Sehingga pada perjalanannya, beberapa kali jatuh bangun dan tidak membuahkan hasil dalam progresnya. Sebuah perbedaan karakter yang dimiliki dua contoh pemimpin yang pernah dialami penulis.

Seperti kisah yang tertuang dalam Kitab Suci yang pernah penulis baca, saat raja Ahazia sakit. Ia menyuruh seorang perwira dan kelima puluh anak buahnya menemui nabi Elia. Sesudah itu disuruhnyalah kepada Elia seorang perwira dengan ke lima puluh anak buahnya. Orang itu naik menjumpai Elia yang sedang duduk di atas puncak bukit. Berkatalah orang itu kepadanya : hai abdi Allah, raja bertitah : Turunlah ! Tetapi Elia menjawab, katanya kepada perwira itu : Kalau benar aku abdi Allah, biarlah turun api dari langit memakan engkau habis  dengan ke lima puluh anak buahmu. Maka turunlah api dari langit memakan dia habis dengan ke lima puluh anak buahnya.

httpspixabay.comidphotosapi-kayu-api-api-unggun-perapian-2204171
httpspixabay.comidphotosapi-kayu-api-api-unggun-perapian-2204171

Apakah dengan kejadian ini raja mau berkaca apa yang sebenarnya terjadi ? Ternyata tidak ! Karena kisah berikutnya, raja tetap menyuruh perwira kedua dan pasukan berikutnya berangkat. Dan kejadian tragis terulang kembali persis yang dialami oleh perwira pertama dan ke lima puluh anak buahnya sebelumnya. Kejadian tidak berhenti di sini. Karena raja tetap menyuruh perwira ketiga dan ke lima puluh anak buahnya menemui nabi Elia. Di sinilah pepatah katakan, hanya keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama.

Tetapi tidak demikian apa yang dilakukan oleh perwira ketiga dan ke lima puluh anak buahnya di hadapan nabi Elia. Melihat nasib tragis yang dialami oleh perwira pertama dan kedua dengan seluruh anak buahnya, dia tidak mau melakukan hal yang sama persis yang sudah terjadi pada perwira sebelumnya. Justru dia melakukan hal yang berbalikan dengan perwira sebelumnya. Dia datang dengan berlutut dan memohon belas kasihan kepada nabi Elia. Bukankah api sudah turun dari langit memakan habis kedua perwira yang dahulu dengan ke lima puluh anak buah mereka ? Tetapi sekarang biarlah nyawaku berharga di matamu.

pexels-jenna-hamra-804416 
pexels-jenna-hamra-804416 

Disinilah terjadi perbedaan dalam pelaksanaan di lapangan. Yang satu tetap berkeras tanpa mau berkaca apa sebenarnya yang sudah terjadi, sedang yang satu lagi mau melihat dan merespon apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi, sehingga tidak mau mengulang kesalahan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun