Suatu kali saat anak kami masih duduk di Sekolah Menengah Pertama, pernah menerima surat cinta alias tilang dari kepolisian, sebagai bukti akan adanya pelanggaran. Saat itu dia begitu takutnya sampai dia mengurung di kamarnya. Dia merasa bersalah karena sudah berdusta kepada kami selaku orang tua jasmaninya, yang sudah melarang naik sepeda motor karena belum memiliki Surat Ijin Mengemudi.
Dia terngiang dan ingat akan pesan kami itu. Dan dia merasa kalau sudah berdusta kepada kami, karena tetap menggunakan sepeda motor kawannya ke kota bersama kawan-kawannya. Padahal pamitnya hanya sebagai pembonceng. Dan dia begitu takutnya karena dia tahu, kalau dusta adalah perbuatan dosa. Setelah beberapa saat merenung, akhirnya dia menceritakan kejadian sebenarnya.
Ada yang bilang kalau peraturan dibuat untuk dilanggar. Apa sebegitunya ? Peraturan dibuat itu semestinya dibuat agar pergerakan manusia menjadi lebih tertib. Berikutnya setelah peraturan dibuat akan ada langkah-langkah peringatan, untuk mengingatkan agar kita jangan menabrak rambu-rambu peraturan yang sudah tertulis. Jadi kalau kemudian terjadi pelanggaran akan peraturan tersebut, ada konsekuensi logis yang harus diterima.
Tetapi pada kenyataannya, seringkali tanpa sadar atau dengan sesadar-sadarnya, sengaja atau tidak sengaja kita malah  menabrak aturan-aturan baku yang sudah ada. Dengan alasan praktis, ekonomis dan minimalis. Bahkan tanpa ragu mengedepankan ego agar apa yang dikehendaki bisa segera terwujud, tanpa peduli aturan-aturan yang ada bisa membahayakan nyawa orang lain.
Begitu juga saat penulis masih aktif dinas di Solo. Suatu kali kami berdua sopir naik mobil ke arah Solo. Waktu itu belum ada tol sampai ke Solo. Jadi masih lewat jalur lama. Selewat Tingkir, tepat di tikungan jalan dengan marka jalan lurus, tiba-tiba sopir mencoba menyalip kendaran yang ada dI depan kami. Dan tentu saja melewati marka jalan yang solid. Beberapa meter di depan, ternyata sedang ada operasi gabungan. Jadi kena tilanglah kami.
Terjadilah perdebatan antara sopir dan petugas. Bertahan dengan pendapat masing-masing. Sopir kami mencoba beralasan dengan mengatakan mobil di depannya mengerem mendadak. Dan tentu saja itu sebuah dusta. Karena pada kenyataannya penulis tahu kondisi yang sebenarnya. Akhirnya sopir kami tetap mendapat surat pelanggaran alias tilang. Jelas disini, surat tilang dilayangkan karena melanggar peraturan. Seberapapun mencoba menyangkal atas nama dusta, peraturan adalah peraturan. Dan itu harus siap menerima konsekuensi buah pelanggaran.
Seringkali, kadangkala kitapun pernah melakukan perbuatan dusta, sekalipun kita tahu bahwa itu adalah tindakan yang tidak benar dan tidak dibenarkan. Jadi memang kalau dirasakan, bisa geli sendiri. Udah tahu ada peraturan, tetap saja dilanggar seenaknya. Udah tahu itu sebuah kebenaran, tetap saja ditabrak untuk memuaskan nafsu. Seperti ada tertulis, Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran.
Merunut dari hidup kita sendiri, secara ringkas, dusta bukan sekedar perkataan atau perbuatan yang tidak jujur seperti cerita di atas. Namun bisa terjadi bahwa dusta adalah bentuk penyangkalan terhadap kebenaran. Sehingga dapat dikatakan pendusta itu adalah musuh Sang Khalik, karena seringnya berbenturan dengan kaidah keimanan seseorang.
Nah, kalau dusta demi dusta dibiarkan berkembang tanpa ada koreksi dari pihak lain, maka yang terjadi adalah di dalam diri orang tersebut tidak ada lagi kebenaran yang hakiki, dan segala tindakannya akan selalu melawan kebenaran. Inilah yang berbahaya dan perlu segera diwaspadai, karena inilah cikal bakal korupsi. Semua bisa dikorupsi. Baik waktu, pekerjaan, uang, jabatan bahkan ibadah kepada Tuhanpun bisa dikorupsi.
Sekilas kita tidak bisa membedakan mereka yang termasuk kategori pendusta dalam lingkungan orang di sekitar kita. Bisa jadi mereka berkomunikasi erat dengan kita, bahkan beribadah juga sama-sama. Tetapi dibalik semuanya itu, jika benar mereka lebih akrab hidup dengan dunia dustanya, yang demikian mesranya, jangan-jangan kita sendiri malah ikutan jadi pendusta, karena bermesra-mesraan dengannya. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H