Banyak waktu luang yang bisa mempererat hubungan kami sebagai suami isteri setelah menjalani purna tugas di bulan mei tahun dua ribu dua puluh yang lalu. Salah satunya adalah berbincang di teras rumah yang teduh, setelah menikmati makan siang. Dan seperti biasa ada segelas kopi sebagai pengantar bincang-bincang kami berdua.
Dan seringkali yang menjadi materi bahasan, adalah seputar bagaimana kami menyikapi perjalan hidup kami. Baik yang sudah berlalu maupun yang akan datang. Karena sekalipun orang lain memandang kepada kami, dan mengatakan sudah enak hidupnya, dengan ketiga anak yang sudah mandiri. Tetapi, biar bagaimanapun kami senantiasa waspada dalam melangkah. Karena pengalaman perjalanan hidup, mengajar kepada kita semua untuk selalu berintrospeksi dalam melangkah hari lepas hari. Layaknya pepatah, Siapa menabur angin akan menuai badai.
Rasanya semua orang, tidak hanya kami, pernah merasakan atau mengalami, saat situasi yang sedang dihadapi begitu sulit dan mendekati kritis, tetapi rasanya doa doa yang kita naikkan kepada Sang Khalik lewat jalur keimanan masing-masing, sepertinya tidak didengar dan tidak segera mendapat jawaban. Dalam hati bisa jadi seringkali bertanya, koq Tuhan tiba-tiba rasanya jauh banget ya ?
Atau bisa saja terjadi saat dalam kondisi aman, nyaman dan tenteram tiba-tiba saja tanpa ada hujan atau angin, Â mendapatkan masalah yang begitu pelik dan berat. Â Bahkan mungkin bertubi-tubi. Lalu timbul dalam dalam hati sebuah pertanyaan, koq bisa mendapat cobaan ini ? Sebuah nada protespun dilayangkan dengan rendah hati atau malah dengan rasa amarah yang meluap kepada Sang Khalik. Itu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Hari-hari kemarin, di wilayah dekat kami tinggal, dibuat geger karena telah terjadi pembunuhan terhadap seorang pemilik depot air isi ulang yang jenasahnya ditemukan di cor. Sebuah kejahatan ? Tentu saja. Ini sebuah dosa ? Pasti. Karena ini sudah meruntuhkan perilaku iman pelaku kepada Tuhannya. Dan tentu saja perbuatan dosa ini tetap membawa konsekuensi pada dirinya.
Bisa saja kita tidak melakukan tindakan pembunuhan secara fisik, tetapi melalui otak dan olah pikir  yang diteruskan dengan menulis lewat jari-jari di atas keyboard lalu di share di media sosial yang dutujukan kepada seseorang yang bernada negatif dan provokatif atas nama pembenaran pribadi, ini juga termasuk pembunuhan karakter dan dikategorikan tindak kejahatan.
Atau seringkali kita berdusta dengan segala cara untuk keuntungan diri sendiri. Bahkan yang lebih ngeri lagi kalau kita melakukan kecurangan-kecurangan dalam pekerjaan ataupun bisnis hanya untuk beroleh keuntungan yang besar. Ini semua membawa konsekuensi di dalam perjalanan hidup kita. Bahkan bisa berlanjut kepada anak keturunan kita.
Jadi dimana benang merahnya dalam konteks perjalanan hidup kita, saat-saat tidak mendapatkan konfirmasi dari Tuhan Semesta Alam, padahal perlu segera mendapat jawaban ? Sudah semestinya introspeksi perlu dilakukan segera lewat tatanan yang benar. Karena sesungguhnya, tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-NYA tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat DIA menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga IA tidak mendengar ialah segala dosamu.
Bahkan, seperti fakta dan realita kejadian di atas, penyebabnya juga bisa ditelusuri. Sebab tanganmu cemar oleh darah dan jarimu oleh kejahatan; mulutmu mengucapkan dusta, lidahmu menyebut-nyebut kecurangan. Sebuah kalimat yang begitu sederhana, tetapi implikasinya begitu hebat akan peranan hidup kita.
Artinya, pada saat kita mengalami jalan buntu di dalam sebuah masalah, jangan buru-buru menyalahkan orang lain dan mencari kambing hitam, atau mencari pembenaran diri sendiri atau bahkan malah mempersalahkan Sang Khalik yang tidak segera menolong. Karena sejatinya bisa saja kesalahan ada pada diri kita sendiri, yang tidak mau menyadari dan mengakuinya akibat keangkuhan dan kesombongan kita sendiri.
Menampilkan bayangan lewat cermin realita, sejauh manakah kita sudah melangkah, sejauh manakah kita menyadari kesalahan kita di hadapan Tuhan Semesta Alam, dan sejauh manakah kita mau melakukan tindakan pertobatan dan siap untuk berbalik kembali kepada Sang Khalik. Sehingga komunikasi kembali terjalin ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H