Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Permintaan....

6 Mei 2023   11:00 Diperbarui: 6 Mei 2023   11:01 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari pagi ini belum lagi tinggi. Tetapi teriakan dan tangisan anak tetangga sudah memecah keheningan pagi. Kami berdua mencoba mendengarkan dan mengamati sekilas apa yang sedang terjadi. Ternyata anak tetangga sedang merajuk ke orang tuanya untuk main dengan kucing kesayangannya di halaman depan rumah. Tetapi karena kedua orang tuanya sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan juga bersiap diri untuk pergi ke kantor, maka kemauan anaknya tidak dituruti.

Memang melihat tingkah polah anak-anak bawah lima tahun dalam mengajukan suatu permintaan kepada kedua orang tuanya kadangkala terlihat lucu dan menggelikan. Tetapi di saat yang ada juga yang menjengkelkan. Apalagi yang mengajukan permintaan itu sudah dewasa. Tentu sudah tidak lucu lagi, kalau permintaannya diikuti sembari nangis dan guling-guling di lantai depan teras rumah.

pixabay.com
pixabay.com

Jadi teringat waktu anak-anak kami masih kecil. Mereka punya strategi saat mereka menginginkan sesuatu. Dan strateginya yang jitu bisa meluluhkan hati kami sebagai orang tua. Caranya ? Biasanya mereka terus mengikuti isteri saya kemana isteri penulis pergi. Ke dapur mereka ikuti. Ke depan televisi, mereka duduk menyender di bahu isteri saya. Isteri ke kamar tidur, mereka juga ikuti sambil mengutarakan keinginan mereka, tak lupa sambil pijit-pijat kaki isteri saya.

Sebuah strategi yang membuat kami sebagai orang tua bisa luluh dan mengabulkan permintaan mereka yang masuk akal. Tetapi bukan berarti semua permintaan mereka kami turuti. Tidak sedikit permintaan yang kami tolak dengan tegas, apabila permintaannya tidak logis dan membahayakan mereka sendiri.

Pernah suatu kali salah seorang dari anak kami yang waktu itu berusia tiga tahun, mencoba meluluhkan hati kami berdua dengan cara berteriak dan menangis histeris di depan toko mainan. Dia meminta sebuah mainan yang kala itu harganya cukup mahal bagi penulis. Tetapi bujuk rayu dan diberi pengertian oleh kami, tidak membuat dia mempan.

pexels-trần-long-7743765
pexels-trần-long-7743765

Akhirnya, kami sepakat meninggalkan dia di emperan depan toko seorang diri. Sungguh tidak dinyana, ternyata apa yang kami lakukan, seolah membuat dia tersadar. Sontak dia terdiam dari tangisnya dan mencoba berlari mengejar kami, yang sedang berjalan meninggalkan dia. Mungkin ini yang disebut adu strategi ?

Bahkan, penulis pernah di cap tega sama anak oleh kawan-kawan dekat, bahkan saudara kami sendiri. Suatu kali anak kami yang sulung, akan pergi bersama dengan kawan-kawannya dengan mengendarai sepeda motornya. Saat itu penulis sudah ingatkan, agar dia memakai helm pengaman. Tetapi tidak diindahkannya. Bahkan sampai ketiga kalinya, penulis ingatkan, dia tidak bergeming. Alasannya, malam minggu gak ada operasi gabungan atau tilang.

Tetapi, siapa sangka, ternyata malam itu digelar operasi gabungan, dan anak sulung kami terkena operasi dan terkena tilang. Apalagi ternyata dia kelupaan bawa SIM nya, karena ganti dompet. Sempat mengontak penulis untuk meminta pertolongan. Tetapi dengan tegas penulis tolak, sambil mengingatkan, kalau sudah tiga kali diberi peringatan tetapi tidak dijalani. Sekarang, segala resiko harus ditanggung sendiri. Entah gimana caranya, sampai biaya tilangpun harus ditanggung sendiri. Kejam ?

Ipexels-mixu-1323208
Ipexels-mixu-1323208

Dari sudut pandang mana kita melihat. Penulis hanya mengajarkan kepada anak-anak kami yang semuanya lelaki, agar bisa mandiri dan berani tanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya. Jangan sekali-sekali membawa orang tua sebagai tameng hidup, agar lolos dari jeratan hukum.

Memang kadangkala ada orang tua yang kalah wibawa di depan anak-anaknya. Dengan alasan klasik, mengasihi anak. Sekalipun dengan alasan kasih itu, akhirnya seperti menjerumuskan anak ke dalam kubangan yang dibuatnya sendiri. Mungkin seperti mainan layang-layang di area terbuka. Kapan kita mengulur benang layangan, kapan juga kita menarik benang layang-layang itu.

pexels-ron-lach-9035370
pexels-ron-lach-9035370

Untuk mengajukan sebuah permintaan seyogyanya tidak disertai ancaman apalagi dengan teror yang menakutkan. Tetapi perlu kerendahan hati kepada siapa kita meminta. Seperti contoh yang dilakukan seorang penderita kusta pada jamannya. Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapannya ia memohon bantuan, katanya : Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.

Dengan kata lain, orang ini tahu posisi dirinya dihadapan siapa dia mengajukan permintaan. Dan apa yang dia lakukan adalah memposisikan dirinya serendah mungkin, tanpa harus membawa embel-embel jabatan ataupun kekayaan di hadapannya. Bahkan posisi berlutut ini bisa diartikan sebuah posisi yang rendah serendah-rendahnya.

Yang menjadi menarik ada kata-kata….kalau Engkau mau…..Ini juga sebuah permohonan yang dalam kategori ungkapan hati yang paling dalam. Karena dia sadar betul dihadapannya, permohonannya bisa diterima ataupun ditolak. Dan dia juga sadar, dia tidak perlu harus memaksakan permohonannya, untuk sebuah kesembuhan.

httpspixabay.comidphotosmemukul-tinju-tangan-kekuatan-316605
httpspixabay.comidphotosmemukul-tinju-tangan-kekuatan-316605

Jadi bagaimana kita bersikap di hadapan sesama, bahkan dihadapan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta melalui keimanan kita. Saat kita meminta dan memohon agar keinginan kita dipenuhi dan segera direalisasikan, menjadi kunci akan teralisasi atau tidaknya sebuah permintaan. Karena kadangkala tanpa sadar kita punya sikap seperti seorang debt collector yang memaksakan kehendaknya tanpa memiliki perasaan. Begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun