Dari sudut pandang mana kita melihat. Penulis hanya mengajarkan kepada anak-anak kami yang semuanya lelaki, agar bisa mandiri dan berani tanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya. Jangan sekali-sekali membawa orang tua sebagai tameng hidup, agar lolos dari jeratan hukum.
Memang kadangkala ada orang tua yang kalah wibawa di depan anak-anaknya. Dengan alasan klasik, mengasihi anak. Sekalipun dengan alasan kasih itu, akhirnya seperti menjerumuskan anak ke dalam kubangan yang dibuatnya sendiri. Mungkin seperti mainan layang-layang di area terbuka. Kapan kita mengulur benang layangan, kapan juga kita menarik benang layang-layang itu.
Untuk mengajukan sebuah permintaan seyogyanya tidak disertai ancaman apalagi dengan teror yang menakutkan. Tetapi perlu kerendahan hati kepada siapa kita meminta. Seperti contoh yang dilakukan seorang penderita kusta pada jamannya. Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapannya ia memohon bantuan, katanya : Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.
Dengan kata lain, orang ini tahu posisi dirinya dihadapan siapa dia mengajukan permintaan. Dan apa yang dia lakukan adalah memposisikan dirinya serendah mungkin, tanpa harus membawa embel-embel jabatan ataupun kekayaan di hadapannya. Bahkan posisi berlutut ini bisa diartikan sebuah posisi yang rendah serendah-rendahnya.
Yang menjadi menarik ada kata-kata….kalau Engkau mau…..Ini juga sebuah permohonan yang dalam kategori ungkapan hati yang paling dalam. Karena dia sadar betul dihadapannya, permohonannya bisa diterima ataupun ditolak. Dan dia juga sadar, dia tidak perlu harus memaksakan permohonannya, untuk sebuah kesembuhan.
Jadi bagaimana kita bersikap di hadapan sesama, bahkan dihadapan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta melalui keimanan kita. Saat kita meminta dan memohon agar keinginan kita dipenuhi dan segera direalisasikan, menjadi kunci akan teralisasi atau tidaknya sebuah permintaan. Karena kadangkala tanpa sadar kita punya sikap seperti seorang debt collector yang memaksakan kehendaknya tanpa memiliki perasaan. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H