Seminggu setelah lebaran kemarin, tetangga rumah lama kami bermasalah dengan seorang pemborong, yang tinggalnya juga berdekatan dalam lingkup satu rukun tetangga. Memang tidak sampai menimbulkan tragedi yang mengharu biru. Tetapi setidaknya menjadikan sebuah pelajaran untuk ke depannya.
Jadi ceritanya, bak penampungan septic tank tetangga kami itu sudah bermasalah sejak sebulan yang lalu. Hampir seminggu sekali tetangga kami ini harus memanggil jasa sedot tinja.Â
Sampai akhirnya ada kesepakatan kerja untuk membongkar dan membuat lubang resapan baru di sebelah lubang septic tank yang lama. Disepakatilah harga borongan sebesar tiga juta rupiah sudah termasuk biaya material, buis beton dengan penutupnya dan biaya ongkos tenaga.
Si pemborong memperkirakan, pekerjaannya akan selesai semuanya dalam kurun satu minggu. Tidak ada kontrak tertulis hitam di atas putih, karena saling percaya. Apalagi yang mengerjakan pekerjaan itu tetangga sendiri. Terjadilah kesepakatan kerja. Dan hari Senin kemarin, dimulailah pekerjaan itu.
Ternyata, dari perkiraan tujuh hari pelaksanaan pekerjaan, pada hari Rabu malam, pekerjaan sudah selesai seluruhnya. Di sinilah timbul masalah. Si pemberi kerja merasa bahwa nilai kontrak tidak sesuai dengan perkiraan penyelesaian pekerjaan yang akan diselesaikan dengan perkirakan seminggu. Mungkin di benaknya masih berorientasi dengan nilai dan upah pekerjaan harian, tidak menyadari bahwa ini adalah pekerjaan borongan. Di pihak pemborong merasa bahwa itu sudah diperhitungkan dengan cermat dengan bahan material yang sesuai dan dengan mengefisiensi biaya tukang.
Penulis yang pas kebetulan sedang berada di situ dalam rangka bersilaturahmi, mencoba menengahi keduanya. Mencoba berkomunikasi dengan mereka dengan memulai dari awal kesepakatan kerja. Sampai akhirnya menjadikan keduanya bersalaman, saling minta maaf karena sudah terjadi salah paham dalam pembicaraan mula-mula, yang tidak terjabarkan secara gamblang.
Penulis jadi teringat sebuah pertanyaan guru Bahasa Indonesia waktu masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama. Sang Guru bertanya, apa fungsi Bahasa ? Karena seisi kelas menjadi hening, penulis beranikan angkat jari dan menjawab, fungsi Bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Seketika guru itu mengacungkan jempol dan membenarkan jawaban penulis.
Tetapi apakah semudah itu ? Karena pada kenyataannya dalam hal komunikasipun kita masih sering salah tangkap dalam hal pendalaman inti pembicaraan. Itu yang membuat sering terjadinya miss komunikasi. Seperti kejadian di atas. Hanya gara-gara septic tank yang bermasalah, hubungan persaudaraan antar tetangga dan sesama bisa rusak berantakan.
Sedikit menoleh kebelakang lewat bacaan sebuah peristiwa di Kitab Suci. Seperti halnya yang dialami oleh Nabi Musa dan Harun. Karena salah penangkapan dalam menerima perintah Tuhan, yang diakibatkan oleh tekanan dan gerutuan umat manusia selama eksodus berlangsung yang tiada henti, mengakibatkan keduanya tidak diperkenankan masuk Tanah Perjanjian. Hanya karena persoalan air yang sukar didapat membuat semua bertindak irasional.
Dikatakan, ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlahlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya.
Perintah Tuhan sebetulnya jelas. Tetapi karena pengaruh tekanan dan emosional membuat Musa salah tangkap dalam menerima perintah Tuhan. Apa yang kemudian dilakukannya ? Sesudah itu Musa mengangkat tangannya, lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga umat itu dan ternak mereka dapat minum.
Sebuah kesalahan fatal dalam hal menangkap inti komunikasi membuat Tuhan murka. Yang Tuhan mau, Musa cukup berkata kepada bukit batu, bukan memukulnya, apalagi memukul sampai dua kali. Akibatnya ? Sebuah harga yang harus dibayar mahal.
Bisa jadi ketika kita berbicara dengan suami, isteri atau dengan anak-anak, bahkan dengan berbicara dengan orang tua, lingkungan kerja atau lingkungan sekitar sering tidak jelas atau susah ditangkap. Disinilah perlu adanya konfirmasi ulang atau peneguhan agar tidak terjadi kesalah pahaman, yang bisa merusak tatanan kehidupan yang sudah mapan. Apalagi saat kita menaikkan doa-doa kepada Sang Khalik. Jangan sampai kita salah melangkah dalam lorong keimanan yang sudah kita pegang dan juga salah dalam melakukan apa yang dikehendaki Tuhan dalam perjalanan hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H