Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebangetan....

4 Mei 2023   11:45 Diperbarui: 4 Mei 2023   12:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan satu, ada sebuah film karya anak bangsa yang berjudul Kejamnya Ibu Tiri tak sekejam Ibu Kota. Film ini disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh pelawak senior Ateng dan Iskak. Bercerita tentang susah payah dan babak belurnya mencari sesuap nasi di Ibu Kota negeri ini, yang disebut Jakarta. Yang menjadi pertanyaan, apakah demikian kejamnya ibu kota sampai saat ini ?

Sekitar tahun dua ribu tujuh belas, adik ipar, seorang wanita yang memiliki usaha kontraktor di bidang desain interior di Jakarta, bercerita di hari-hari terakhirnya tentang bagaimana usahanya banyak sekali dikerjain oleh salah satu customernya. Dan itu membuat sakit hati yang terpendam, yang akhirnya berujung kepada penyakit kanker sampai di akhir hidupnya.

pexels-nur-andi-ravsanjani-gusma-4570166
pexels-nur-andi-ravsanjani-gusma-4570166

Jujur saja kami tidak menyangka, bahwa seperti judul film di atas itu, dialami oleh adik isteri penulis. Di sela-sela dia mengungkapan isi hatinya tentang jatuh bangunnya usahanya, penulis menanyakan bagaimana modus yang dilakukan oleh salah satu customernya, sehingga membuat sakit hati yang berkepenjangan. Dan jawabannya sungguh-sungguh amat sangat mengagetkan yang mendengarnya, khususnya penulis sekaligus kakak iparnya.

Sambil menahan sakit dan berbaring di sebuah rumah sakit di sekitaran Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dia mulai bercerita. Ketika adik ipar ini membuat kontrak kerja dengan salah satu customer besar di Jakarta, awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai saat ketika dilakukan serah terima pekerjaan yang sudah selesai seratus prosen dan bisa diterima oleh customer, timbul masalah. Apa pasalnya ? Ternyata si customer tidak mau membayar seluruh pekerjaan yang sudah selesai dikerjakan dengan baik, dengan alasan yang dibuat-buat.

httpspixabay.comidphotosbarbie-kamera-paparazi-juru-potret-1708707
httpspixabay.comidphotosbarbie-kamera-paparazi-juru-potret-1708707

Si Customer ini hanya mau membayar setengahnya dari nilai kontrak yang sudah ditanda tangani. Dan sisanya akan dibayar, apabila adik isteri ini mau menerima pekerjaan baru yang ditawarkan oleh pihak Customer. Sebuah posisi yang sulit dihindari. Ibarat dimakan mati bapak, tidak dimakan mati emak. Dan itu terjadi berulang, sampai akhirnya nilai tagihan mencapai 1,7 milyar rupiah. Hingga adik isteri penulis meninggal dunia di tahun yang sama, tagihan itu tidak terbayar. Kebangetan ? Tentu saja.

Beberapa kejadian yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri juga mengalami tanpa menyadari sepenuhnya. Entah sebagai pelaku entah sebagai korban. Karena biasanya kedua-duanya akan merasa benar di pihak masing-masing dengan sejuta argumen yang dilontarkan. Bisa karena menilai dari sudut keuntungan semata yang berupa materi maupun harga diri.  

Ihttpspixabay.comidphotosrantai-kaki-pasir-perbudakan-19176
Ihttpspixabay.comidphotosrantai-kaki-pasir-perbudakan-19176

Ketika kita berada di salah satu pijakan yang dianggap benar menurut ukuran diri sendiri, yang menjadi pertanyaan, apakah itu sudah layak di hadapan Sang Khalik ? Seperti kalimat nasihat yang perlu dicerna secara mendalam. Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Benar juga.

Bahkan kejadian seperti peristiwa di ataspun bisa merembet ke ranah keimanan kita kepada Tuhan Sang Pencipta. Saat perjalanan hidup kita yang sudah di desain dengan blue printnya yang cukup detail dari sejak dalam kandungan, sampai akhirnya kembali ke hadirat-NYA di suatu waktu yang ditentukan. Ada saat-saat tanpa sadar kita melakukan negosiasi dengan Tuhan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Bahkan seringkali juga mungkin disertai ancaman.

pexels-markus-spiske-3806749
pexels-markus-spiske-3806749

Benar tidak sih, kita seringkali memilih warna saat berderma, bersedekah atau memberikan persembahan ? Karena dari warna yang dipilih dari dalam dompet yang terbuka perlahan-lahan, jangan-jangan sejatinya saat itu kita sedang bernegosiasi dalam hati dengan Tuhan Semesta Alam. Entah apa yang diambilnya nanti. Apakah warna kekuningan, keabuan, kecoklatan, keunguan, kehijauan, kebiruan ataupun kemerahan. Sampai dimana nilai kebangetannya ? Hanya Sang Khalik yang tahu. Itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun