Sekitar tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan satu, ada sebuah film karya anak bangsa yang berjudul Kejamnya Ibu Tiri tak sekejam Ibu Kota. Film ini disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh pelawak senior Ateng dan Iskak. Bercerita tentang susah payah dan babak belurnya mencari sesuap nasi di Ibu Kota negeri ini, yang disebut Jakarta. Yang menjadi pertanyaan, apakah demikian kejamnya ibu kota sampai saat ini ?
Sekitar tahun dua ribu tujuh belas, adik ipar, seorang wanita yang memiliki usaha kontraktor di bidang desain interior di Jakarta, bercerita di hari-hari terakhirnya tentang bagaimana usahanya banyak sekali dikerjain oleh salah satu customernya. Dan itu membuat sakit hati yang terpendam, yang akhirnya berujung kepada penyakit kanker sampai di akhir hidupnya.
Jujur saja kami tidak menyangka, bahwa seperti judul film di atas itu, dialami oleh adik isteri penulis. Di sela-sela dia mengungkapan isi hatinya tentang jatuh bangunnya usahanya, penulis menanyakan bagaimana modus yang dilakukan oleh salah satu customernya, sehingga membuat sakit hati yang berkepenjangan. Dan jawabannya sungguh-sungguh amat sangat mengagetkan yang mendengarnya, khususnya penulis sekaligus kakak iparnya.
Sambil menahan sakit dan berbaring di sebuah rumah sakit di sekitaran Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dia mulai bercerita. Ketika adik ipar ini membuat kontrak kerja dengan salah satu customer besar di Jakarta, awalnya semua berjalan baik-baik saja. Sampai saat ketika dilakukan serah terima pekerjaan yang sudah selesai seratus prosen dan bisa diterima oleh customer, timbul masalah. Apa pasalnya ? Ternyata si customer tidak mau membayar seluruh pekerjaan yang sudah selesai dikerjakan dengan baik, dengan alasan yang dibuat-buat.
Si Customer ini hanya mau membayar setengahnya dari nilai kontrak yang sudah ditanda tangani. Dan sisanya akan dibayar, apabila adik isteri ini mau menerima pekerjaan baru yang ditawarkan oleh pihak Customer. Sebuah posisi yang sulit dihindari. Ibarat dimakan mati bapak, tidak dimakan mati emak. Dan itu terjadi berulang, sampai akhirnya nilai tagihan mencapai 1,7 milyar rupiah. Hingga adik isteri penulis meninggal dunia di tahun yang sama, tagihan itu tidak terbayar. Kebangetan ? Tentu saja.
Beberapa kejadian yang ada di sekitar kita, bahkan mungkin kita sendiri juga mengalami tanpa menyadari sepenuhnya. Entah sebagai pelaku entah sebagai korban. Karena biasanya kedua-duanya akan merasa benar di pihak masing-masing dengan sejuta argumen yang dilontarkan. Bisa karena menilai dari sudut keuntungan semata yang berupa materi maupun harga diri. Â
Ketika kita berada di salah satu pijakan yang dianggap benar menurut ukuran diri sendiri, yang menjadi pertanyaan, apakah itu sudah layak di hadapan Sang Khalik ? Seperti kalimat nasihat yang perlu dicerna secara mendalam. Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Benar juga.