Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Membiarkan....

26 April 2023   11:15 Diperbarui: 26 April 2023   11:16 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
httpspixabay.comidphotosperceraian-pemisahan-berpisah-2254714

Beberapa hari lalu, kami berdua isteri bersilaturahmi ke seorang kawan yang tinggalnya masih satu kota dengan kami. Keluarga kawan ini mempunyai dua orang anak yang sudah bersekolah. Satu orang bersekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama dan satu orang lagi di tingkat Sekolah Mengah Atas. Artinya bukan lagi sebuah keluarga yang baru saja terbentuk.

Di tengah obrolan, kami dikejutkan oleh salah seorang anak tuan rumah yang tiba-tiba berteriak kepada orang tuanya untuk meminta sesuatu. Yang membuat kami terkaget-kaget adalah ketika anaknya memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan KOWE ! Dalam hati hati kami berdua bertanya, koq sama orang tuanya tidak ada hormat-hormatnya ya ? Ditambah lagi kedua orang tuanya juga menjawab dengan bahasa Jawa ngoko kepada anaknya dan membiarkan seperti tidak ada sesuatu yang aneh. Ini yang membuat telinga kami berdua mendadak risih.

httpspixabay.comidphotosberteriak-wanita-takut-amarah-4751647
httpspixabay.comidphotosberteriak-wanita-takut-amarah-4751647

Sekilas penulis berpikir, apa mungkin kami berada di dunia antah berantah yang salah ? Karena sepengetahuan kami, panggilan kowe adalah panggilan kepada teman sesama dalam bahasa Jawa ngoko. Tetapi kalau kepada orang tua atau orang yang lebih tua panggilannya berubah menjadi panjenengan. Untuk menunjukan rasa hormat kepada orang tua.

Banyak hal yang kadangkala membuat anak-anak lupa, saat beranjak dewasa. Mereka lupa bagaimana repotnya ketika mereka mulai belajar berdiri dan berjalan setapak demi setapak. Orang tuanya tidak pernah membiarkan anaknya tersandung saat mulai berjalan dan matanya tidak lepas dari setiap pergerakan anaknya. Termasuk bagaimana mengajar budi pekerti dan tata krama di dalam kesehariannya.

httpspixabay.comidphotospria-sepeda-orang-angkutan-jawa-4840265
httpspixabay.comidphotospria-sepeda-orang-angkutan-jawa-4840265

Tentu saja tidak hanya kalangan suku Jawa saja. Bahkan sebanyak suku yang ada di negeri inipun, tentu ada tata cara untuk mengungkapkan rasa hormat dengan kata-kata kepada orang tuanya. Jadi adalah hal yang aneh buat saya pribadi, ketika dikemudian hari anak-anak tidak memiliki rasa hormatnya kepada orang tuanya.

Mungkin ada keluarga-keluarga yang tidak peduli akan perlunya tata krama, anggah-ungguh ataupun budi pekerti yang seharusnya berjalan seirama sepanjang pertumbuhan usia, jasmani maupun rohaninya. Bisa jadi yang dipedulikan dan dipersiapkan kepada anak-anaknya hanyalah bagaimana mereka ke depannya bisa berprestasi, meraih gelar dan hidup kaya raya tanpa dibarengi pengawasan ahlak dari orang tuanya. Boro-boro punya iman.

Mungkin juga, bagi yang sudah terbiasa dan terpola di dalam keluarga hal yang seperti di atas, bukanlah menjadikan sebuah masalah. Tetapi bagi orang lain dan lingkungan sekolah, ini menjadikan sebuah ganjalan. Karena kita hanya bisa mengelus dada tanpa bisa berbuat apa-apa.  

pexels-cottonbro-studio-5427750
pexels-cottonbro-studio-5427750

Sebuah refleksi sederhana buat penulis. Kalau dalam keseharian saja sudah tidak bisa menghormati kedua orang tuanya, ataupun orang yang usianya lebih tua dari dirinya. Bagaimana pula anak-anak masa depan ini bisa menghormati Sang Khalik yang berkuasa penuh atas segala kehidupan umat manusia ?

Masih ingat ketika kita sebagai orang tua mendampingi anak-anak mulai belajar berjalan, berlari, belajar naik sepeda atau belajar naik motor. Dan ketika masanya anak dewasa kemudian belajar mandiri berpisah dengan orang tua, segala sesuatunya harus dihadapi sendiri. Ini adalah proses pendewasaan yang memang harus dijalani. Peran orang tua secara prosentase sudah jauh berkurang karena anak-anak sudah harus mandiri.

Karena sejatinya, seperti halnya pertumbuhan jasmani, ketika anak-anak kita menjalani pertumbuhan rohanipun, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak luput mengawasi dan menjagai mereka sepenuhnya sepanjang hari. Bagi Tuhan, yang berkuasa menjaga supaya jangan kamu tersandung dan yang membawa kamu dengan tak bernoda dan penuh kegembiraan di hadapan kemuliaan-NYA

pexels-amrutha-vm-5807974
pexels-amrutha-vm-5807974

Jadi jangan sampai terjadi, ketika anak-anak mendadak menjadi sultan yang kaya raya, tiba-tiba tersandung karena ulahnya yang tidak berahlak, seperti kasus besar yang beberapa bulan kemarin terjadi. Memang perlu lem perekat ahlak dan budi pekerti yang seharusnya terus menempel pada diri anak-anak yang mulai masuk ke dalam dunia gemerlap yang penuh warna ini. Ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun