Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menawar....

25 April 2023   10:00 Diperbarui: 25 April 2023   10:02 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin, ini adalah sebuah realita sekaligus fakta yang seringkali kita lakukan, tanpa kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan sudah berlawanan dengan hati nurani. Sebuah contoh sederhana. Pada saat kita berbelanja di supermarket, seberapapun harga yang tertera pada barang yang kita butuhkan, kita pasti segera ambil dan langsung bayar di kasir tanpa komentar apapun. Betul ?

Apakah ini ada kaitannya dengan gengsi atau harga diri ? Mungkin saja. Tetapi sebaliknya pada saat kita membutuhkan barang yang dijual oleh mbok-mbok tua di pasar tradisional, apakah kita langsung membayar seberapapun yang si mbok katakan harganya ? Seringkali justru kita langsung keluarkan jurus aji telapak nawar jitu. Padahal barang yang dijual di supermarket dan si mbok tua itu sama. Cuman seikat kangkung !

httpspixabay-comidphotossupermarket-belanja-penjualan-toko-435452-6446a6be08a8b531f8229012.jpg
httpspixabay-comidphotossupermarket-belanja-penjualan-toko-435452-6446a6be08a8b531f8229012.jpg
Di supermarket harganya tujuh ribu lima ratus rupiah seikat, kita langsung bisa bayar cash atau pakai kartu. Tetapi si mbok tua jual tiga ribu rupiah seikat, kita masih berusaha menawar sampai berdarah-darah. Mulai menawar dari harga seribu rupiah seikat sampai mentok. Bahkan akhirnya tidak jadi membeli, hanya karena selisih harga lima ratus perak. Pernah seperti itu ? Masih banyak contoh lain yang sering kita lakukan. Apakah ini termasuk kategori seni jurus bela diri ?

Seringkali kami berdua isteri mencoba menerjemahkan kejadian-kejadian yang sepertinya biasa terjadi di sekitar kita hidup. Dan tidak sampai berhenti di situ. Karena biasanya penulis sering kritisi apa yang dilakukan oleh isteri saat berbelanja di pasar tradisional. Tetapi mungkin disinilah seni dan kearifan lokal terwujud. Melakukan tawar menawar sampai tercapai sebuah kepuasan. Ataukah ini yang disebut bagian dari the power of emak-emak ?

pexels-ngoc-vuong-2890492
pexels-ngoc-vuong-2890492

Bisa jadi ya bisa juga tidak. Tergantung dari sudut pandang masing-masing. Karena apakah belum cukup bagimu bahwa kamu menghabiskan padang rumput yang terbaik ? Mesti pulakah kamu injak-injak padang rumput yang lain-lain dengan kakimu ? Belum cukup bahwa kamu minum air yang jernih ? Mesti pulakah yang tinggal itu kamu keruhkan dengan kakimu ?

Persoalannya tidak hanya dalam seni tawar menawar untuk beroleh kepuasan. Tetapi bisa lebih dari itu. Ketika kekayaan sudah memperdaya dan memangsa mahluk lain, ini menjadi berbahaya. Maksudnya gimana ? Coba renungkan realita di atas. Seandainya si pembeli adalah seorang yang sungguh beriman dan memahami semua keberadaan datangnya dari Sang Khalik, dan si mbok tua itu bukan orang yang beriman dengan sungguh-sungguh.

Apakah itu bukan sebuah penyimpangan dari hukum kasih yang Tuhan ajarkan kepada sesama umat manusia ? Apalagi ternyata si mbok tua penjual kangkung tadi, ternyata juga seorang yang cukup beriman juga. Gimana ? Apakah ini tidak lebih lebih jauh dari menyimpang ? Bahkan secara ekstrim bisa dikategorikan penindasan kepada sesama. Walaupun masalahnya hanya seikat kangkung !

httpspixabay.comidphotospasar-sayuran-kios-pasar-wortel-3860952
httpspixabay.comidphotospasar-sayuran-kios-pasar-wortel-3860952

Agak aneh memang dan kalau bisa dibilang abstrak ketika sesama manusia yang memiliki kodrat yang sama di hadapan Sang Pencita, tetapi mendadak menjadi dangdut ketika diperhadapkan dengan situasi dan kondisi, dimana seni tawar menawar yang tidak setara diperlakukan. Maksudnya, kalau rangkaian ajang prosesi tawar menawar ini dilakukan sesama pebisnis dengan nilai harta kekayaan yang selevel, itu adalah hal yang biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun