Suatu kali di tahun dua ribu delapan belas, ada kejadian yang menarik. Saat itu penulis habis beres-beres rumah yang berantakan karena baru saja pindah rumah. Rasanya badan ini capainya minta ampun. Karena bisa dibayangkan, faktor usia yang sudah tidak muda lagi, harus menata dan membereskan barang-barang yang berantakan yang masih ada di ruang tamu dan teras rumah.
Sebetulnya kami sudah nyaman di rumah yang dibangun dari awal dengan hal-hal yang mengejutkan, yang sudah pernah disampaikan di artikel penulis sebelumnya. Tetapi anak kami yang nomor dua sudah membeli rumah baru untuk kami tinggali. Dan dia bersikeras agar kami segera pindah rumah karena satu dan lain hal yang menjadi alasannya.
Dan akhirnya kami harus segera bongkar barang-barang di rumah lama. Karena tanpa diduga sudah ada orang yang mau kontrak rumah lama kami, dan menginginkan hari Senin sudah bisa masuk. Padahal saat nego dengan pengontrak itu terjadi pada hari Kamis malam. Jadi bisa dibayangkan bagaimana pegel-pegelnya badan ini.
Yang ada dibenak penulis saat itu adalah ingin secepatnya pijat seluruh tubuh. Berharap tubuh segera pulih dari rasa capai dan bisa tidur dengan nyenyak tanpa perlu tergagap-gagap di tengah mimpi. Menghubungi tukang pijet langganan, ternyata dia lagi berada di luar kota. Akhirnya penulis ingat ada tukang pijat tuna netra yang tinggal tidak jauh dari rumah kami yang lama.
Sambil memijat terjadilah dialog dua arah yang menarik. Dia bercerita bagaimana asal muasalnya matanya menjadi buta. Dan bagaimana harus segera berhenti dari pekerjaannya karena kondisi kesehatan matanya yang bermasalah, hingga akhirnya buta sama sekali. Awalnya dia meratapi hidupnya karena masalah matanya. Sampai akhirnya dia memperoleh ide untuk belajar memijat. Dan itu dilakukannya sampai sekarang.
Mungkin, karena ketekunannya dan ketrampilannya, maka tanpa dia sadari banyak pelanggan yang mulai datang kepadanya. Bisa jadi lewat getok tular, dari mulut ke mulut, maka dia mulai banyak dikenal. Dan itu membuahkan hasil yang tidak terduga. Dari awalnya memijat panggilan atau buka lapak di emperan toko, sampai akhirnya bisa kontrak rumah buat dia buka praktek pijat tuna netra.
Keisengan mulai muncul, ketika sudah setengah perjalanan dipijat. Penulis coba berbicara. Wah, bapak buta saja bisa punya uang banyak dan bisa kontrak rumah yang bagus. Apalagi kalau matanya tidak buta ya pak, pasti akan lebih kaya. Sambil menekan lengan tangan kanan dan sambil tersenyum, dia bilang, kalau saya bisa melihat sempurna seperti awal dilahirkan, saya pasti masih menjadi kuli bangunan.
Jawaban singkat,tetapi sangat menohok. Memang, apa yang seringkala orang lain dilihat sebagai sebuah musibah, pada kenyataannya malah bisa menjadikan kebalikannya dan itu adalah berkat. Mungkin kita juga seringkali merasa berada di titik nadir, ketika tiba-tiba masalah muncul secara mendadak di hadapan kehidupan kita, tanpa bisa menghindar. Dunia rasanya mendadak gelap, dan kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, sekuat apa keimanan kita kepada Sang Khalik, ketika mendadak beroleh hal yang tidak mengenakkan di dalam kehidupan kita yang tadinya aman-aman saja. Apakah masih berusaha memegang kendali hidup sesuai dengan akal pikiran sendiri, atau menyerahkan sepenuhnya dalam kendali Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menata hidup kita ? Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan Tuhan dari jalanmu dan rancangan Tuhan dari rancanganmu. Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H