Mestinya kita masih ingat jaman sekolah dulu. Dari sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar bahkan sampai kuliah. Apa sih yang nggak diturutin buat guru kita ? Masih ingat di benak penulis, jaman masih sekolah dasar. Saat bapak/ibu guru memasuki halaman sekolah, murid-murid sudah saling berebut untuk membawakan sepeda ontelnya atau berebut membawakan tasnya. Dan itu otomatis terjadi tanpa ada perintah. Apalagi kalau ada perintah atau tugas dari guru.
Generasi anak kami sudah bergeser. Karena guru sudah mulai naik sepeda motor. Jadi rasanya gak mungkin anak-anak sekolah dasar berebut bawakan sepeda motor gurunya. Tetapi apabila ada tugas atau perintah dari guru, masih dilaksanakan dengan sepenuh hati. Teringat ketika anak kami saat sekolah dasar. Suatu kali disuruh gurunya untuk bawa sapu ,ember dan kain pel buat bersih-bersih ruangan kelas.
Dengan antusias anak kami berangkat lebih pagi dari biasanya. Tas ransel berisi buku-buku pelajaran ada di punggung, tangan kanan membawa sapu dan tangan kiri membawa ember dengan kain pelnya. Persis mau perang layaknya. Dan itu menjadi gurauan kami berdua selaku orang tua. Di rumah disuruh bersih-bersih susahnya minta ampun. Tapi disuruh ibu guru koq mendadak jadi rajin. Lha emang yang kasih makan siapa ? Benar begitu ?
Memasuki perguruan tinggi untuk hal yang remeh temeh masih diturut juga. Sekalipun bukan perintah dari dosen. Tetapi perintah dari senior-senior. Masih ingat kan, suatu kali disuruh bawa balon warna-warni, rambut anak yang perempuan dikucir dengan jepitan jemuran, atau disuruh memakai topi badut. Kalau dipikir apa sih gunanya ? Tapi itulah seninya menurut perintah.
Memasuki dunia kerja lain lagi ceritanya. Generasi penulis, saat menerima tugas atau perintah dari atasan selalu sigap menjawab, siap. Sekalipun pada tingkat pelaksanaannya gabruk sana gabruk sini. Tetapi semuanya siap dilaksanakan tanpa berani melawan perintah.
Generasi anak-anak kami, beda lagi dalam menanggapi perintah secara situasional. Tidak lagi menjawab siap, tetapi akan mencoba mencari celah. Mana yang bisa saya kerjakan, saya akan kerjakan. Tetapi kalau yang tidak bisa saya kerjakan, bisa orang lain  yang mengerjakan.
Generasi yang sekarang bergeser lagi dalam menangkap perintah atasannya. Mungkin karena terlalu mengikuti era digital. Sehingga ketika mendapat perintah akan segera memilih sesuai dengan seleranya. Kalau tidak sesuai kata hatinya, mending dia tinggalkan pekerjaan. Bahkan ada yang berani resign dari kantornya, karena tidak sesuai dengan ekspetasinya.
Keadaan lingkungan menjadi pengaruh yang sangat kuat dalam memahami posisi kita sebagai murid, dalam artian sesungguhnya seperti saat kita bersekolah dulu. Dengan harapan apa yang kita lakukan secara nyata, bisa ditiru oleh generasi berikutnya. Seperti halnya program Multi Level Marketing. Â Â
Â
Bahkan itupun seharusnya dibawa ke dalam perjalanan kehidupan rohani kita. Seperti halnya yang dimaksud, itu adalah menurut kepada Sang Khalik dalam koridor keimanan kita masing-masing. Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Tuhan mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.
Jadi jelas di sini, sebetulnya Tuhan Yang Maha Kuasa sudah menetapkan diri kita menjadi seorang murid. Karena dari-NYA, semua materi tentang perjalanan kehidupan umat manusia bisa diterima dan kita tinggal menurut. Yang menjadi persoalannya adalah ketika terjadi murid yang ngeyel dan membangkang. Gimana kelanjutannya ?
Seperti halnya ketika ada upacara ibadah perayaan Nyepi, ada ibadah puasa Ramadhan dan ada ibadah perayaan Paskah yang berdekatan. Pertanyaan kepada masing-masing individu sesuai dengan standar keimanannya adalah, apakah sudah menurut dan menjalankan ibadahnya dengan sepenuh hati atau malah bolong-bolong ? Begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H