Setahun setelah berpulangnya anak kami yang ketiga, yang merupakan satu-satunya anak perempuan di dalam keluarga kami. Dia meninggal dunia genap di dalam usia tujuh bulan, yang disebabkan karena cairan ketuban yang masuk ke paru-parunya. Setelah itu lahirlah anak kami ke empat dalam kondisi normal. Ada rasa ketakutan, kekuatiran dan trauma akan kehilangan anak kami yang ketiga. Dan itu masih menggayut di kehidupan kami, terutama isteri saya. Bisa dimaklumi sebagai manusia normal ini bisa dialami siapa saja.
Belum ada seminggu anak keempat lahir, tiba-tiba kondisinya drop disebabkan oleh diare dan muntah yang berlebihan, sehingga anak kami mengalami dehidrasi yang cukup hebat. Sebagai orang tua kami hanya bisa menangis dan menangis dengan segala ketakutan. Apalagi bayang-bayang kematian anak ketiga masih terus mengikuti.
Mungkin bagi sebagian orang bisa berkata, ketakutan bisa diredam atau bahkan dihilangkan dengan cara dihadapi. Bisa jadi. Tetapi persoalannya tidak semudah itu. Karena bagi sebagian orang tadi, mungkin tidak bisa merasakan, apalagi mengalami situasi seperti yang sedang kami alami. Mungkin ini sebuah pembelaan diri atas dasar kesedihan, bukan sebuah pembelaan atas dasar keimanan kepada Sang Khalik.
Ketakutan memang bisa dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Bisa terjadi secara tiba-tiba maupun dalam waktu yang panjang. Bisa karena trauma atau bisa juga karena sebab intimidasi yang dibuat oleh pihak lain. Dan ini seperti yang dialami Nabi Musa saat membawa bangsanya keluar dari Mesir. Di tengah perjalanan dan di tengah kegalauan dan ketakutan akan diburu dan dibunuh oleh bangsa Mesir, Nabi Musa yang sudah merasa diberi perlindungan dan kekuatan dari Tuhan segera mengeluarkan pernyataan. Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan, yang akan diberikan-NYA kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu  lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya.
Sekali lagi, tidak mudah memang melawan rasa ketakutan. Perlawanan terhadap ketakutan dan segala kekuatiran dalam perjalanan proses kehidupan, menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kedewasaan iman kita. Karena pada dasarnya secara hakiki, kita tidak bakal mampu melawan rasa takut atau rasa kuatir yang menerpa kita, dengan hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Â Bisa dilihat, apakah kita punya senjata yang ampuh untuk bisa mengalahkan semuanya itu ?
Terasa beda ketika berbicara tentang ketakutan yang berkonotasi dengan jasmani. Saat ada keberanian bertindak melawan perampok, misalnya. Karena ada bekal bela diri, maka rasanya ketakutan bisa dilawan. Sekalipun kita berhadap-hadapan dengan perampok seorang diri.
Tetapi ketika ketakutan itu berhubungan erat dengan kejiwaan dan rohani, tidak ada kekuatan yang bisa meredam kecuali berlandaskan keimanan kepada Sang Pencipta. Bisa saja terjadi kita diperhadapkan sesuatu hal yang di luar nalar, yang membuat kita ketakutan.
Â