Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keberanian

22 Maret 2023   10:40 Diperbarui: 22 Maret 2023   10:49 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebetulnya iseng saja kalau semalam buka youtube dan menyaksikan pertunjukan matador melawan banteng yang badannya cukup besar dan berbobot. Ada beberapa pertunjukan yang sempat teramati dari hasil keisengan. Menarik ? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari benak pikiran. Tentunya akan terjawab dari sudut pandang mana posisi kita melihatnya.

  

Dan mungkin kita semua sudah pernah menonton pertunjukan matador melawan banteng, sekalipun hanya lewat layar televisi. Memang, ada pertanyaan menggelitik kalau lihat pertarungan matador lawan banteng. Sebetulnya yang punya nyali keberanian itu matadornya atau bantengnya ? Matador yang notabene sosok manusia yang diciptakan Tuhan untuk punya hati yang penuh kasih, bisa berubah menjadi seorang petarung dengan naluri membunuh. Begitu juga sang banteng, yang kehidupannya dengan naluri ke-binatang-annya berubah menjadi pemburu untuk menaklukan manusia yang mengusiknya. Jadi yang berani itu siapa ?

Dari sumber Wikipedia, matador diartikan secara harafiah berarti pembunuh, yang tidak lain adalah seorang Torero yang sangat ahli di dalam pertarungan melawan banteng. Jadi Torero adalah pelaku utama dalam pertunukan pertarungan manusia melawan banteng di Negara Spanyol dan juga negara-negara berbahasa Spanyol lainnya.

pexels-becerra-govea-photo-5784858
pexels-becerra-govea-photo-5784858

Seperti halnya perjalanan hidup kita yang majemuk. Tanpa kita sadari, kita hidup dengan tingkat keberanian yang berbeda-beda saat menghadapi segala sesuatu yang mengancam hidup kita. Ada yang punya nyali gede, ada pula yang punya nyali kecil. Bahkan seorang Kapten kapal yang notabene seorang pelaut handal, seperti almarhum mertua penulis. Ketika berhadap dengan seekor cecak nyalinya malah menjadi kecil. Ini fakta.

Sebaliknya seperti kejadian barusan tadi pagi. Sehabis kami berdua belanja kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional, yang sudah mulai sesak karena banyak pengunjung yang menfaatkan hari libur dan juga menyambut bulan Ramadhan, kami sempatkan mampir di warung soto Semarang. Suasana warung sotopun penuh, karena mungkin memanfaatkan sarapan terakhir sebelum menjalani puasa esok hari.

pexels-cats-coming-1731535
pexels-cats-coming-1731535

Yang menjadi menarik adalah sebuah kejadian di sebelah meja kami berada. Sebuah keluarga terdiri dari bapak, ibu dan dua anaknya yang sedang menikmati soto dan gorengan serta sate ayamnya. Jadi menariknya apa ? Ternyata, setelah selesai mereka makan, satu per satu mereka pergi ke dalam mobil yang parkir di halaman warung soto, tanpa membayar sepersepun di kasir. Kebetulan meja kasir berhadapan dengan tempat duduk kami berdua. Jadi semua pergerakan penikmat soto bisa termonitor.

Inikah yang disebut arti keberanian atas nama nyali yang gede, yang dengan berani mempertaruhkan harkat dan martabat pribadi dan keluarga ? Bukan lagi bicara keberanian seperti matador atau bantengnya yang mengandalkan fisik yang kuat, teknik dan strategi.  Tetapi saat kita berhadapan dengan kehidupan rohani kita. Seberapa besarkah keberanian kita memasuki fase ke dalam keimanan kepada Sang Khalik ?.

 Dengan kata lain untuk memasuki tahapan-tahapan ini kita perlu minta kekuatan dari Tuhan Semesta Alam. Bukan sekedar berani dalam konteks perkataan dan nyali saja. Tetapi ini sudah lebih dari itu. Mengapa ? Karena saat diperlukan keberanian untuk masuk di dalam ruang kejujuran dan kebenaran dengan mengandalkan landasan keimanan yang kuat, maka sejatinya banteng-banteng nafsu angkara yang ada dalam diri kita dapat terkalahkan tanpa perlu menanggung rasa malu. Bukan begitu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun