Berkumpul bareng dengan anak-anak dan menantu yang merupakan sebuah kebersamaan adalah sesuatu yang sungguh-sungguh sangat menyenangkan. Perbedaan kota dan jarak yang membuat kami jarang kumpul bareng sambil berbincang menjadi penyebab. Jadi saat ada waktu luang untuk kumpul bersama tentu tidak akan kami sia-siakan.
Seperti halnya bulan kemarin kami bisa berkumpul bareng dengan anak-anak dan menantu di Jakarta. Ada hal yang menarik di tengah perbincangan pagi sambil minum kopi yang disajikan istri tercinta. Anak sulung kami, bercerita bagaimana seru dan hebohnya saat pementasan drama musical Flower of Destiny yang pentas di tahun dua ribu delapan belas. Dimana anak sulung dipercaya selaku produser. Dan yang tidak disangka-sangka dia ditunjuk untuk berpidato saat opening dan closing.
Sungguh ini suatu peristiwa yang tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Anak sulung lalu mengingat, bagaimana dia diusir keluar dari Semarang oleh penulis, sehabis  wisuda. Dan yang paling mengejutkan adalah saat anak sulung ini bercerita waktu kecil. Papa mama tahu gak ? Kalau waktu duduk di sekolah dasar, aku sudah menggambar sebuah suasana, dimana aku berada di atas panggung yang besar, di hadapan orang-orang yang banyak dan lampu-lampu sorot yang menyorot ke arahku.
Pernah anak sulung berpikir, mungkin suatu saat nanti bakalan naik panggung sebagai pembicara suatu seminar atau yang lain. Tidak pernah terbersit sedikitpun akan mengalami kejadian itu. Tetapi saat kemarin anak sulung berpidato di opening drama musical di depan ribuan mata yang melihat, ingatan akan gambar anak sulung kami menjadi kenyataan. Persis seperti yang dia gambar waktu sekolah dulu ! Deja Vu ?
Kadangkala memang, tanpa disadari kita pernah mengalami apa yang disebut Deja Vu.  Deja Vu itu seperti halnya sebuah perasaan yang terjadi saat kita yakin bahwa pernah mengalami atau menyaksikan sebuah kejadian yang terjadi sebelumnya. Dan kemudian kita merasa bahwa  peristiwa yang dialami sekarang sudah pernah terjadi sebelumnya.
Kesadaran akan proses sebuah perjalanan kehidupan tidak bisa langsung instan dan mendapat titik tertinggi secara tiba-tiba. Ada hal yang mungkin harus dilalui. Entah jalan yang terjal dan berbatu-batu atau melalui lembah-lembah air mata. Bahkan secara tidak langsung komunitas pergaulanpun turut serta berperan dalam mencapai cita-cita. Tentu saja komunitas yang mendukung ke arah hal-hal positif.
Seperti kesepadanan melangkah dalam kebersamaan dengan orang lain, Â yang mungkin bisa berbeda latar belakang atau profesi. Yang seorang menolong yang lain dan berkata kepada temannya, kuatkanlah hatimu !. Bisa saja terjadi, tukang besi menguatkan hati tukang emas, dan orang yang memipihkan logam dengan martil menguatkan hati orang yang menempa di atas landasan; ia berkata tentang patrian, itu baik, lalu menguatkannya dengan paku-paku, sehingga tidak goyang.
Dan anak sulung saya terus bercerita, bagaimana sebetulnya cita-citanya sejak kecil adalah menjadi seorang produser. Tetapi dalam kenyataannya, banyak mengalami hal-hal yang membuat dia kuatir dan ketakutan akan perjalanan hidupnya yang telah dilewatinya. Jatuh bangun, diremehkan  bahkan dianggap sebelah mata. Tetapi dia teguh berpegang dan berjalan di dalam koridor keimanan kepada Tuhan Semesta Alam.
Segala hal memang bisa terjadi di depan mata kita selagi melangkah melewati hari lepas hari. Kekuatiran, ketakutan, tidak dianggap atau dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ini bisa menjadi penyebab langkah kita kemudian berhenti di tengah jalan. Tetapi yang perlu diingat dalam keteguhan iman kepada Yang Maha Kuasa, sebab Tuhan akan senantiasa menolong di setiap kesulitan.
Jadi sejauh manakah kita melangkah dengan mimpi-mimpi kita dan sejauh manakah kita tenggelam dalam ketakutan dan kekuatiran akan perjalanan hidup ? Mau pilih yang mana ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H