Hari Minggu kemarin, dengan beberapa kawan, kami diajak teman dekat ke makam suaminya yang meninggal dua tahun lalu karena menjadi korban keganasan Covid. Sebuah area pemakaman yang demikian luas dengan kontur naik turun, yang membuat orang yang berkunjung rasanya seperti memasuki sebuah kawasan villa. Ini memang kawasan pemakaman umum dengan cluster-cluster yang ada di dalamnya.
Pertama memasuki kawasan pemakaman ini, disambut dengan petugas jaga untuk membuka pintu gerbang depan yang tertutup rapat. Melewati pintu gerbang, kami disuguhkan dengan bangunan makam yang dibangun cukup mewah dan megah. Sempat terlintas dalam benak pikiran saya, buat apa ya membangun makam demikian megahnya seperti bangunan tempat tinggal di real estate. Karena kami melihat, dan tidak hanya satu makam, ada beberapa makam, yang di atasnya dibangun dengan bentuk layaknya mahkota raja.
Dan tentu saja, pikiran saya lantas berlanjut dengan perhitungan skala perekonomian seorang pensiunan. Memang, teman kami ini, almarhum suaminya adalah seorang pengusaha yang cukup besar dan terkenal. Dibanding dengan makam-makam yang berada di atas bukit-bukit sekitarnya, makam almarhum teman kami terbilang sederhana dengan nilai di atas rentang lima sampai sepuluh untuk penilaiannya.
Tetapi sekali lagi, otak seorang pensiunan mengkakulasi bak kalkulator untuk berhitung. Berhitung dari nilai tanah per kapling, jasa pemakaman, pembangunan makam sesuai type atau model yang dikehendaki. Belum lagi biaya pemeliharaan dan perawatan makam yang harus dikeluarkan oleh ahli waris setiap bulan. Mungkin buat orang yang berada, untuk memberi tempat istirahat yang terbaik dan termahal bukanlah sebuah masalah. Karena itu bisa dikatakan sebagai rasa penghormatan terakhir yang bisa diberikan.
Melihat dengan kacamata dan sudut pandang yang berbeda. Saya tiba-tiba diingatkan akan sebuah kalimat yang pernah saya baca dalam Kitab Suci. Sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Jadi maknanya apa dalam kehidupan ?
Masih ingat kasus First Travel yang terjadi pada tahun 2017 kemarin ? Bagaimana sepasang suami istri pengusaha travel untuk Umroh bisa menilep uang nasabah ratusan milyar. Dari sisi pandangan orang awam usaha travel untuk memberangkatkan jemaah umroh di awal-awanya adalah baik dan benar. Dinilai baik, karena dengan dana yang murah jemaah bisa berangkat umroh. Dikatakan benar, karena dari sudut pandang itu ada dalam urusan agama. Nah, dari sudut pandang inilah suatu kejadian bisa menjadi rancu.
Kalau kita simak dua kejadian di atas, apa yang bisa petik ? Dalam kehidupan sehari-hari tanpa sadar seringkali kita menilai seseorang dari sosok penampilannya. Tanpa menyadari betapa itu adalah sesuatu yang rawan yang bisa menjebak tatanan diri sendiri. Â Karena yang di luar berbeda dengan yang di dalamnya. Di luar tampilannya seperti malaikat penolong tetapi hatinya busuk. Yang berujung mengecewakan.
Dalam perilaku hidup berkomunitas, baik di lingkungan rumah, lingkungan pekerjaan ataupun lingkungan tempat dimana kita hidup beribadah dan berkeimanan kepada Sang Khalik, ini menjadikan seperti pigura. Sekali lagi ukuran yang dipadankan bukan dari seberapa banyak orang tersebut tampak berlaku baik, sopan, alim, atau seberapa tekunnya orang tersebut beribadah.
Karena waktu sudah membuktikan, berapa banyak manusia yang suka sekali menggunakan topeng kemunafikan untuk bisa memperdaya orang lain. Mungkin tingkah lakunya yang  sopan bisa mendapat sanjungan. Tetapi apakah itu menjadi jaminan yang akurat, bahwa perlakukan itu benar di hadapan sesama bahkan di hadapan Tuhan ?
Suatu pembenaran adalah mutlak dari sudut pandang Tuhan. Bukan dari sudut pandang pribadi ataupun penilaian orang lain. Hubungan humanisme dalam lingkungan seringkali terbalik-balik. Kita bisa saja terjebak dengan tampilan seseorang yang berujung kemunafikan belaka. Karena apa yang kita lakukan bukan untuk dinilai sesama manusia saja, tetapi biar apa yang kita lakukan itu terutamanya adalah layak dan berkenan kepada Tuhan Sang Pencipta. Benar begitu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H