Di tengah perjalanan napak tilas bersama istri dan anak kami, sempat melewati sebuah sekolah menengah pertama di sebuah pinggiran kota. Tiba-tiba saya diingatkan masa waktu sekolah dulu. Ada sebuah pertanyaan menarik dari guru bahasa Indonesia saat itu, saat baru saja naik ke kelas tiga sekolah menengah pertama di kota pesisir pantai utara jawa.
Pertanyaannya sederhana. Apakah fungsi bahasa ? Saat itu satu kelas hening dan tidak ada yang bisa menjawab. Dan saya coba beranikan dengan mengangkat telunjuk jari, serta menjawab tegas tanpa ragu. Sebagai alat komunikasi pak ! Betul sekali jawabnya. Satu kelas merasa bersyukur karena ada yang menjawab. Soalnya guru Bahasa Indonesia ini terkenal galak dan tanpa kompromi. Kalau tidak bisa menjawab, bakal ada hukuman yang menanti.
Tetapi saat itu juga saya balik nanya. Pak, apa perbedaan penggunaan kata “Negara” dan “Negeri” ? Kenapa ada Kepala Negara tetapi ada Menteri Dalam Negeri ? Kenapa ada Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetapi ada Pengadilan Negeri ? Kenapa ada ayam negeri, koq tidak ayam negara ? Saat itu guru bahasa Indonesia saya tidak bisa menjawab. Bahkan sampai saya kuliahpun pertanyaan ini tidak terjawab. Ada yang bisa menjawab ?
Kembali ke masalah di atas. Persoalannya adalah bukan pada subyek item di atas, tetapi sejauh manakah kita memahami fungsi bahasa itu sendiri dalam hal berkomunikasi. Seperti halnya kalimat Aku mengasihi kamu. Tetapi kamu berkata : Dengan cara bagaimanakah Engkau mengasihi kami ?
Sebuah kalimat pendek yang diungkap secara gamblang, tetapi bisa mendapat reaksi yang beraneka ragam. Coba kita praktekkan pertanyaan yang sama buat para suami-suami . Dan coba istri-istri menjawab dengan jawaban yang sama seperti yang tertulis di atas, dengan intonasi yang berbeda-beda . Reaksinya ? Bisa-bisa terjadi gegeran dalam rumah tangga.
Karena disinilah fungsi dari pemahaman sebuah bahasa ke dalam area komunikasi. Kadangkala perlu waktu dan proses yang panjang bagi seorang istri untuk memahami dan menerima apa yang tersembunyi dibalik kata-kata yang diucapkan oleh seorang suami. Begitu juga sebaliknya. Sekalipun bermaksud baik, tetapi salah dalam penyampaian intonasinya, akan berdampak yang sebaliknya.
Sebuah persoalan muncul dari landasan keimanan. Ketika Tuhan dengan jelas-jelas dan gamblang mengatakan Aku mengasihi kamu. Dan statement tersebut yang total keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Kenapa kadangkala kita masih masih saja mempertanyakan caranya ? Jangan-jangan kita sekarang juga masih berkutat mempertanyakan statement tersebut di atas, bahkan bisa jadi lebih parah. Kita malah meragukan Sang Khalik.
Karena dari fakta bisa terungkap. Begitu kita mendapat persoalan dan masalah yang bertubi-tubi, ataupun mendapat pergumulan yang begitu hebat. Tanpa sadar kita kita sering mempertanyakan Sang Pencipta. Tuhan, katanya Engkau sayang sama saya ? Kenapa saya dapat masalah besar seperti ini ? Benar ?
Seberapa jauhkah hubungan komunikasi kita dengan suami atau istri ?. Seberapa jauhkah hubungan komunikasi kita dengan anak-anak darah daging kita sendiri ? Dan seberapa jauhkah hubungan komunikasi kita dengan Sang Khalik ?
Karena, sudahkah kita bisa menyelami arti mengasihi yang diberikan suami atau istri lewat bahasa verbal maupun lewat bahasa tubuh. Bahkan sudah bisakah kita mensyukuri akan kasih Tuhan lewat perjalanan hidup kita ? Atau masih adakah pertanyaan yang mengganjal lewat hubungan suami atau istri di dalam hati ?
Kalau saja hari-hari ini kita masih memiliki ganjalan yang tidak terselesaikan dengan pasangan hidup, bagaimana kita bisa berani katakan, saya memiliki hubungan pribadi yang erat dengan Tuhan ? Rasanya tidak mungkin. Betul ?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI