Rasanya kalau kita berbicara tentang tingkat kesadaran akan status kepemilikan apapun, bagaimanapun dan siapapun, ternyata nafas ke-aku-an sungguh menempati posisi yang tertinggi diantara hal-hal lain.
Dalam pola pikir yang terdalam sekalipun, apa saja yang ada dalam genggaman, tetap akan diakui sebagai milik pribadi yang tak tergoyahkan. Apalagi merasa bisa memiliki karena hasil kerja keras dan tetesan keringat yang membanjir. Benarkah demikian adanya ? Kalau mau jujur, ada siapa dibalik semuanya itu ?
Tidak salah memang kalau perjalanan kehidupan sosok manusia yang terlahir telanjang dari rahim seorang ibu dengan tidak membawa emas ataupun perak. Geliat olah tubuh jasmani yang kemudian merangkak menuju alam kedewasaan, menempa untuk mendapatkan sesuatu yang berharga buat menumpuk kekayaan dengan landasan ketrampilan, kecerdasan bahkan mungkin disertai dengan stempel bejo.
Beberapa waktu yang lalu saat kami merayakan ulang tahun mama mertua, yang sekarang sudah berpulang di usia senjanya. Saat itu kebetulan saya ditunjuk sebagai wakil keluarga sebagai pembuka kata sambutan di tengah keluarga besar dan tamu seangkatan mama mertua. Ada hal yang menarik saat saya coba tanyakan kepada mama mertua dan juga tamu-tamu yang hadir.
Saat merayakan ulang tahun seperti ini, apa sih yang Bapak, Ibu dan saudara cari…? Sepersekian detik, saya melihat dengan jelas wajah-wajah tamu tertegun. Ada yang menanggapi dengan senyum-senyum, ada yang kaget, ada yang acuh atak acuh. Bahkan ada yang coba menatap tajam ke saya. Itulah wajah-wajah kejujuran dan keluguan yang memancar dari hati yang paling dalam.
Saya mencoba melanjutkan arah pembicaraan saya. Pernah terpikir tidak ? Mungkin di hari ulang tahun bapak ibu ada yang masih ingin piknik ke Raja Ampat ? Atau ingin diajak anak cucu buat jalan-jalan keliling eropa ? Atau ada yang masih ingin punya rumah mewah ? Atau ada yang masih ingin punya mobil lagi ? Atau-atau yang lain….?
Ketika para tamu sedang menikmati bayangan mimpi-mimpi mereka, saya lontarkan pertanyaan lain. Koq gak ada yang ingin dipanggil pulang Tuhan ya ? Atau mimimal bisa hidup lebih deket lagi sama Tuhan ? Dan kembali wajah-wajah para tamu tertegun. Dan sayapun lebih tertegun !
Manusia bisa saja menjadi lupa, atau pura-pura lupa. Apalagi kalau disodorkan kalimat yang mengingatkan kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tidak pandang usia, maupun jenis kelamin, ataupun warna kulit bahkan tidak juga memandang kasta. Kesadaran akan nilai hakiki jadi bisa buram. Untuk bisa menyadarkan posisi kita dihadapan Sang Pencipta. Punya-MU-lah langit, punya-MU-lah juga bumi, dunia serta isinya Tuhan-lah yang mendasarkannya.
Memang perjalanan hidup kita, kadang membuat kita lupa siapa dibalik proses yang sedang berlangsung di dalam kehidupan kita. Apalagi saat kita sedang berada di puncak popularitas dan ada dalam zona kemapanan dan kenyamanan. Ditambah lagi dengan kepemilikan harta yang melimpah serta dompet keuangan yang tidak habis tujuh turunan. Semua rasanya ada dalam genggaman kita. Dan kita bisa melakukan apa saja sesuai kehendak hati kita, tanpa menyadari akan keterbatasan umur kita, terlebih ada siapa di balik semuanya itu. Seperti sebuah lorong sempit dari sudut pandang mata jasmani.
Menyadarkan kepada diri sendiri, siapa yang memiliki semua ini dan adanya keterbatasan usia kita. Sudah selayaknya kita tidak lagi disibukkan dengan mencari dan mencari harta dunia sampai lupa kepada siapa yang memberi jalan akan semuanya itu . Karena siapakah orang yang hidup dan yang tidak mengalami kematian, yang dapat meluputkan nyawanya dari kuasa dunia orang mati ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H