Membuka dan membaca sejarah masa lalu lewat kisah perjalanan para Nabi ada rasa yang terusik, tidak cukup membayangkan tetapi mencoba merasakan kehidupan saat itu dari lubuk hati yang paling dalam.
Sekiranya…sekali lagi sekiranya….sebagai manusia jaman sekarang yang sudah terbiasa kita hidup serba praktis dan cepat, lalu ditarik ke belakang untuk mencoba menghayati hidup di masa Nabi Musa, misalnya. Bisa jadi kita tidak bisa bertahan seperti para peserta yang melakukan eksodus dari negeri Mesir dengan pimpinan Musa.
Mungkin kita juga akan berlaku seperti orang kebanyakan yang terus menerus bersungut-sungut menghadapi kenyataan hidup yang sedemikian beratnya di padang gurun.
Karena bisa dibayangkan, bagaimana melangkah hari lepas hari menjalani hidup dalam perjalanan di padang gurun gersang yang seakan tanpa arah. Hidup dengan air yang pas-pasan, makananan manna yang membosankan, dan cuaca ekstrem.
Belum lagi harus setiap saat menghadapi peperangan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Sekuat-kuatnya mental manusia yang sudah terbentuk sejak awal, akan ada rasa jenuh yang bisa timbul dan mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup. Bisa membayangkan bagaimana hidup saat itu kan?
Suatu perjalanan yang harus ditempuh tidak hanya cuman hitungan jam layaknya lewat jalan tol. Tetapi perjalanan yang ditempuh bertahun-tahun. Dan itu yang terjadi…
Berbeda dengan gaya hidup masa kini yang di sekitar kita banyak bermunculan obyek witasa, sentra kuliner maupun kepungan mall yang mulai meredup.
Saat tubuh letih, lesu dan lelah, masih ada tempat-tempat yang bisa dijadikan hiburan dan cuci mata, atau nonton bioskop atau pergi healing. Bisa membayangkan bagaimana perbedaaan kehidupan saat itu kan ?
Rutinitas dan aktifitas dalam mengejar kebutuhan kehidupan sehari-hari yang kian berat. Jebakan kemacetan di jalanan, himpitan ekonomi bahkan kegamangan dalam hidup berke- iman-an membuat semakin banyak orang mengalami gejala stress yang berkepanjangan.
Memang banyak hambatan dan halangan dalam perjalanan kehidupan ini. Baik secara jasmani maupun secara rohani. Rasa bosan dalam melangkah di dalam perjalanan panjang yang melelahkan, bisa membuat membuat orang kembali berkeluh kesah dan bersungut-sungut dalam ketidakpuasan akan Kasih Tuhan.
Sebuah realita dari pertanyaan rombongan yang keluar dari era perbudakan di Mesir yang dipimpin Musa. Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir ? Supaya kami mati di padang gurun ini ? Pertanyaan yang menohok dan juga menjebak akan makna kehidupan yang sesungguhnya. Ketika yang diajukan adalah tuntutan dan tuntutan hidup, berulang-ulang.
Rasanya dalam melangkah hari lepas hari dengan segala aktifitasnya, dengan bersandar kepada ke-iman-an Sang Khalik, akan ditemui semua hal yang berkenaan dengan rasa syukur maupun sungutan.
Seringkali kita lupa akan peranan Sang Pencipta, bagaimana Tuhan itu memiliki Kasih yang sempurna tetapi sekaligus bisa berlaku Adil di dalam segala aspek.
Dalam artian, siapapun yang tidak taat kepada-NYA, akan menerima hukuman sebagai konsekuensi atas ketidak taatannya. Begitu juga sebaliknya.
Seperti layaknya hukum fisika. Tekanan berbanding lurus dengan gaya. Semakin banyak gaya, semakin besar tekanan. Jadi jika hidup banyak tekanan, bisa jadi karena kita banyak gaya.
Jadi jangan heran kalau tiba-tiba ada sesuatu yang mengejutkan terjadi di sekeliling kehidupan kita, sekalipun kita merasa bahwa hidup kita sudah baik-baik saja dengan standar ke-iman-an menurut akal pikiran kita sendiri. Kebejatan moral dan tidak adanya ucapan syukur dan terima kasih lewat bibir ini kepada Sang Khalik, bisa menjadikan timbangan hidup berat sebelah.
Sampai hari ini kita tidak tahu, jangan-jangan hidup kita masih sering membuat Tuhan meneteskan airmatanya karena tingkah laku kita dalam melangkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H