Rasanya baru dua tahun sejak pandemi meluluh lantakkan perekonomian dan tata kehidupan di negeri ini. Tetapi kayaknya waktu begitu cepat berlalu. Saya cukup terkejut ketika bertemu dengan kawan dekat dengan anaknya yang dua tahun lalu masih dikategorikan imiut-imut, tanpa sadar sekarang menjadi sosok wanita remaja. Apakah perubahan dunia memang begitu cepat layaknya pertumbuhan jasmani dan rohani seseorang ?
Begitu juga rasanya kita tanpa sadar sudah bertambah usia. Tiba-tiba saja saya tertegun bercampur kaget. Usia sudah kepala empat, kepala lima dan sekarang sudah kepala enam. Seperti rentetan kalimat yang bisa menjadi sebuah kepastian.Â
Benarkah? Â Yang kita tahu angin tidak bisa kita pegang, tapi lewat desauannya kita bisa rasakan. Yang kita tahu pelangi tidak bisa kita pegang, tapi lewat pancaran warnanya kita bisa lihat. Yang kita tahu matahari tidak bisa kita pegang, tapi lewat sinar kemilaunya kita bisa merasakan hangatnya. Tetapi, yang kita tidak tahu dan tidak bisa kita rasakan adalah pertumbuhan jasmani dan rohani kita.
Dari rekam jejak yang bisa diputar ulang, Yang Maha Kuasa sudah menciptakan kita sejak dari kandungan, dilahirkan lewat rahim seorang ibu dan tanpa kita sadari kita sudah bertumbuh secara cepat. Sejak awal Tuhan sudah punya blue print atas hidup kita. Dan rancangan Sang Khalik atas hidup kita begitu luar biasa, dan tentu saja kita hidup dalam rencana-NYA.
Â
Tetapi dalam perjalanan kehidupan manusia, kadangkala tidak semulus yang Tuhan rencanakan. Daya tahan hidup yang rapuh diselimuti dengan kesombongan duniawi menjadikan pertumbuhan rohani menjadi liar tak terkendali. Ukuran keberhasilan senantiasa diyakini sebagai kemampuan diri sendiri dan otak yang encer.Â
Tanpa menyadari akan kebesaran Sang Pencipta yang memampukan kehidupannya. Demi pertumbuhan nilai kekayaan, keimanannya dipertaruhkan, bahkan bisa jadi juga diperjual belikan. Sebuah kesombongan sekaligus sungguh menyedihkan.
Seorang kawan saya yang boleh dikata sudah mapan dalam keimanannya, ternyata bisa terjebak dalam area ketahanan dan kesombongan. Kehidupan keimanannya diuji dengan masalah materi dan tata krama. Dan ternyata daya tahan imannya lama kelamaan rapuh tergerus tawaran dunia yang begitu mempesona dan menggiurkan.Â
Sehingga dia menghempaskan keimanannya tanpa rasa ragu dan tanpa rasa malu. Mungkin sekarang dia bisa menyombongkan dengan kekayaan dunia yang diraihnya. Mungkin juga dia sedang duduk di kursi empuk yang beralaskan lembaran uang yang diraihnya. Tetapi tanpa dia sadari, dia sudah merobek cetak biru iman yang sudah Tuhan buat kehidupannya.
Kita bisa melihat di sekeliling, tanah yang menghisap air hujan yang sering turun ke atasnya, dan yang menghasilkan tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi mereka yang mengerjakannya. Siapa yang mengerjakannya ? Tentu siapa saja yang mau menerima ganjaran dari Sang Khalik. Tetapi jikalau tanah itu menghasilkan semak duri dan rumput duri, tentu saja tidaklah berguna dan sudah dekat pada pemangkasan, yang berakhir dengan pembakaran.
Dengan kata lain, seseorang yang pernah diterangi hatinya oleh Ilahi, dan yang pernah mengecap kasih karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam iman yang teguh, untuk bisa merasakan kebahagiaan dunia yang akan datang, bisa saja jatuh tergeletak. Mengapa ? Karena yang terjadi adalah pembentukan sifat angkuh demi sebuah kehormatan semu, dan dengan pedenya menggadaikan imannya atas dasar kesombongan. Hal ini tidak mungkin dibaharui pertumbuhan imannya, kecuali dia sadar akan kesalahannya dan bertobat, untuk hidup kembali sesuai dasar imannya.
Sudahkah kita menyadari bahwa hidup kita sesuai dengan rancangan TUHAN atau sebaliknya, malah hidup dengan kesombongan yang terbentuk pada diri sendiri ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H