Masih ingat kasus Dimas Kanjeng yang bikin heboh beberapa waktu silam ? Satu hal yang menjadi pertanyaan saya saat kasus Dimas Kanjeng terbongkar saat itu adalah, adakah orang yang ber-iman kepada Sang Khalik yang jadi pengikutnya ? Bukan tanpa alasan pertanyaan ini muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Mengapa ?Â
Survey abal-abalpun bisa membuktikan. Di segala lapisan masyarakat  dari strata yang tertinggi sampai akar rumput, apapun golongannya, apapun warna kulitnya bahkan apapun agamanya, begitu berhubungan dengan apa yang disebut uang dan menghasilkan keuntungan berlipat-lipat, hampir pasti semuanya jadi gelap mata dan kehilangan akal sehat. Â
Orang bisa sambil lalu berkata uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Mungkin ini sebuah kalimat yang tak asing dalam peradaban manusia, dan rasanya ini tidak mustahil, karena faktanya adalah realistis. Orang kadangkala bilang, untuk mencapai kebahagiaan sejati, bukan uang yang menjadi tolok ukurnya. Akan tetapi di sisi lain, dan dibenarkan juga, bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan bahkan diimpikan perlu uang untuk menukarnya.
Kasus Dimas Kanjeng, sebuah kasus yang abstrak dan membuat berapa pihak jadi korban. Orang dengan mudahnya menggadaikan iman mereka dengan uang. Dari kalangan petani, buruh, pengusaha, ulama sampai Pegawai Negeri Sipil, yang sekarang dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Bahkan seorang yang lulusan S3 di Amerika bahkan lulusan terbaik Lemhanas pun bisa kehilangan akal sehatnya.
Kembali pertanyaan di atas menggeliat. Benarkah ada orang-orang yang beriman yang menjadi cantriknya ? Kalau pertanyaan saya di atas kemudian jawabannya adalah ada, bisa jadi orang tersebut sudah benar-benar menggadaikan iman percayanya kepada Sang Khalik, yang notabene sudah mengatur alur hidup manusia sesuai blue printnya. Â
Ketika di tengah kehidupan yang normal kemudian disusupi dengan demonstrasi kanuragan yang disertai rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda yang membelalakkan mata menjadi suatu kekaguman dan kehebatan yang dibungkus dengan rupa-rupa tipu daya jahat terhadap orang-orang yang terlena akan orientasi cuan dan cuan. Maka yang terjadi kemudian adalah rasa terjebak dan kegamangan akan hidup. Saat itulah pintu kesesatan terbuka atas mereka yang percaya akan kepalsuan, yang menyebabkan mereka begitu percaya akan segala dusta.Â
Â
Survey membuktikan, nafsu dunia seringkali lebih cepat larinya daripada akal sehat. Alangkah sia-sianya kalau kita hidup di dunia sudah menderita, tersesat dan akhirnya harus binasa, karena tidak bisa menerima Kasih dan Anugerah dari Sang Pencipta. Bisa dibayangkan….sudah setor uang berjuta-juta rupiah bahkan sampai ratusan milliar, hidup dengan tenda terpal yang panas, tetapi akhirnya tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Bahkan rasa malu pun tidak tertebus….
Dan itu yang acapkali membuat manusia yang beriman pun kadangkala dalam posisi yang gamang. Saat kita terhempas dan lemas dalam situasi sulit, jujur saja, kita sulit untuk mengucap syukur. Padahal di satu sisi, apapun persoalan yang sedang kita hadapi, apapun bentuknya, sudah sewajarnya kita tetap bersyukur. Karena kita sudah dipelihara hari lepas hari. Bangun tidur badan sehat dengan menghirup oksigen gratis. Itu lebih dari segalanya.
Rasanya pola pikir kita perlu di set ulang, agar kita lebih mengerti akan makna hidup. Bagaimana Tuhan akan menuntun kita senantiasa, dan akan memuaskan hati kita sekalipun posisi sedang berada di tanah yang kering. Setiap saat pembaharuan kekuatan akan terjadi pada diri kita. Layaknya seperti taman yang selalu diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan. Percaya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H