Mengingat masa lalu, di awal-awal perkawinan kami dan saat anak-anak masih kecil sampai beranjak dewasa, bisa dikatakan itu masa-masa traumatik buat kami sekeluarga. Bagaimana tidak ? Istri saya tidak diterima sepenuh hati oleh keluarga besar saya. Bahkan anak-anak saat kumpul bareng dengan keluarga besar saya pun tidak dianggap sebelah mata. Dan itu berjalan dari tahun ke tahun.
Kadangkala memang ada sebagian orang yang berdiri dengan memegang teguh adat istiadat, latar belakang bahkan mungkin agama. Padahal sejatinya cinta adalah kasih yang sejujurnya tercipta karena campur tangan Sang Pencipta. Dan ketika kedua anak manusia dipertemukan dengan atas nama cinta, apakah sekonyong-konyong bisa dipisahkan atas nama murka ?
Mungkin karena isteri saya berasal dari seberang pulau dengan adat istiadat dan latar belakang yang berbeda, menjadikan ini sebuah perseteruan. Bahkan ketika agama dibawa-bawa dalam ranah percintaan. Salahnya agama dimana ? Tuhan pasti memberikan pasangan yang terbaik dan itu tidak dapat dipungkiri,. Sekalipun bisa saja melewati proses yang njelimet dan melelahkan. Â
Rasa traumatik yang menghinggapi anak-anak terus bergulir seiring berjalannya waktu. Hingga saat ada perayaan besar tiba, dan waktunya kumpul dengan keluarga besar sayapun, anak-anak selalu mengelak untuk datang bertemu dengan keluarga besar. Rasa disepelekan, dikucilkan bahkan seakan direndahkan terus menghantui, sehingga tanpa sadar berakumulasi dalam dendam untuk membuktikan jati diri anak-anak kami.
Kejadian yang berulang tidak menyurutkan hati isteri saya untuk terus menempa hati anak-anak. Setiap kali ada pertemuan dengan keluarga besar, istri saya senantiasa mengingatkan dan membujuk anak-anak untuk bisa tetap berkumpul dengan keluarga besar. Sebuah pertaruhan yang dibilang nekad, bagaimana penjabaran sebuah ketulusan dengan landasan kasih dalam perseteruan yang panas. Â
Memang dengan tolok ukur manusia yang normal, apabila hati disakiti akan memunculkan dendam membara. Bahkan apabila dendam tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan pertengkaran dan pembunuhan.
Teringat sebuah kalimat bijak yang membuat hidup kita akan terkontrol dengan tameng iman. Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu.
Dan itu benar. Setelah berjalan sekian puluh tahun, saat kemarin kami punya acara, keluarga besar saya bisa datang bahkan mengikuti ibadah sampai acara selesai. Bagi saya sekeluarga itu adalah penghiburan yang sungguh luar biasa. Tuhan memang selalu punya rencana yang seringkali tidak terpikirkan oleh kita. Tuhan melihat apa yang sudah dilakukan oleh istri saya, dan Tuhan juga yang membalas semuanya itu.
Menarik sekali buat merenungkan perjalanan hidup yang sudah kita lalui dan berada di belakang kita. Mungkin hari-hari ini kita sedang diperhadapkan dengan lingkungan kerja, teman di medsos, atau dilingkungan tempat tinggal yang memusuhi kita. Introspeksi dulu ke diri kita, dan tetaplah berlaku baik.Â
Sejauh mana Sang Khalik melihat hati kita, dan sampai sejauh mana kita bisa berperilaku dan tetap ada koneksitas dengan Yang Maha Kuasa. Karena semua perseteruan hanya bisa diperdamaikan dengan rasa kasih yang tulus tanpa pamrih.
Yang menjadi pertanyaannya sekarang, kita mau pilih yang mana, berseteru atau berdamai dengan sesama ? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H