Pernahkah sejenak kita perhatikan bagaimana seorang petugas jaga di kawasan Angkatan Bersenjata, Kepolisian atau petugas jaga di Istana Kepresidenan ? Pernahkah terpikir bagaimana seandainya kalau pas jaga, petugas tersebut mules sakit perut akibat salah makan ?Â
Ataukah pernah kita merasakan bagaimana galau kalau petugas jaga tersebut dalam kondisi lesu karena ditagih banyak hutang, sehingga tidak fokus kepada tugasnya ? Atau pernahkah kita membayangkan bagaimana kalau yang jadi petugas jaga itu adalah diri kita sendiri ?
Rasanya sulit dibayangkan, dengan posisi bersiap dan berdiri berjam-jam layaknya patung yang menahan segala godaan yang hilir mudik di depan matanya, maupun menahan emosi dari segala pikiran-pikiran yang berkecamuk. Harus tetap tegak berdiri dan berkonsentrasi penuh tanpa bisa lepas dari kegalauan ? Dimana letak kunci keberhasilan prajurit tersebut ?
Bisa jadi, daya tahan yang terbentuk berawal dari latihan kedispilanan spartan yang kuat serta latihan terus menerus dan bentukan loyalitas kepada atasan. Sepintas rentetannya yang terjadi  sebetulnya sederhana. Prajurit dituntut makan makanan yang bergizi agar memiliki tubuh yang kuat, jasmaninya  sehat dan kesetiaan dengan tunduk pada atasan. Pada prakteknya tentu tidak semudah yang dibayangkan. Â
Bagaimana kita bisa meniru prajurit jaga di atas di dalam kehidupan sehari-hari ? Apakah sanggup dan tetap menjadi seorang insan yang kuat ? Mungkin yang dihadapi dalam keseharian masing-masing berbeda. Sebab pada dasarnya, tidak hanya jasmani saja yang kokoh kuat laksana gatotkaca. Punya otot kawat balung wesi.
Di sisi lain untuk menjadi sosok yang kuat, perlu juga rohani yang kuat. Apalagi menghadapi situasi kehidupan yang majemuk dan makin mengkhawatirkan. Rohani yang membalut tubuh kita, tidak boleh dipandang sebelah mata. Rohani kita dituntut seperti layaknya prajurit tersebut di atas, agar tetap kuat.
Yang menjadi persoalan, bagaimana rohani kita bisa berjaga-jaga, kalau kita tidak bisa berdiri dengan kokoh menahan gempuran dunia. Bagaimana kita bisa berdiri kokoh, kalau kita tidak punya tekad yang kuat. Bagaimana kita punya tekad yang kuat kalau kita tidak mau makan ayat-ayat dari Sang Khalik ? Rasanya mustahil bukan ?
Saat ngopi bareng di pos kampling deket rumah sambil berjaga lingkungan di tengah malam, seorang tetangga mengatakan dengan tegas dengan sikap yang santai. Mari kita bersama berjaga-jagalah! Sambil berdiri dengan teguh dalam iman masing-masing! Apapun yang sedang kita hadapi haruslah memiliki sikap sebagai laki-laki! Dan satu hal lagi harus tetap kuat!
Tadinya, mendengar kalimat-kalimat tersebut kita anggap sebagai kalimat biasa tanpa makna. Tetapi setelah diresapi sambil minum kopi, rasanya betul juga kalimat-kalimat itu. Dan ada benarnya juga.
Kalau sekarang kita sempatkan bercermin, mari kita lihat cermin kehidupan kita masing-masing. Sudah sekuat apakah kita bisa berjaga-jaga menahan gempuran yang rasanya tidak pernah habis ? satu jam ? dua jam ? Sudah kuatkah iman kita, apabila datang persoalan yang rasanya datang beruntun ? Seberapa mampu kita menahan fitnah dan cercaan ? Kuatkah kita menanggung beban yang berat dalam perjalanan kehidupan ? Benarkah kita mencintai pekerjaan yang sedang kita hadapi ?
Kalau kita bisa melakukan semuanya, tanpa adanya keluhan. Tanpa ada gerundelan apalagi bersungut-sungut. Pertanyaannya mengapa bisa ? Jawabannya, karena kita mencintai pekerjaan kita. Jadi di atas semuanya, maukah kita belajar disiplin melatih rohani dan memiliki loyalitas penuh kepada Sang Pencipta ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H