Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspada...

21 Januari 2023   10:10 Diperbarui: 21 Januari 2023   10:20 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir dua kali tetangga depan rumah kami kebobolan pencuri. Satu kali berhasil membawa kabur barang-barang di siang hari bolong dan sekali gagal, karena ketahuan pemilik rumah. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketiga kalinya, akhirnya pemilik rumah memasang CCTV sebagai pantauan.

Tindakan pemilik rumah ini yang dinamakan berjaga-jaga atau waspada. Sebuah respon positif dalam perilaku manusia pada umumnya, dari hal kekuatiran. Sebaliknya kalau tetangga depan rumah itu ambil tindakan dengan cara untuk pindah rumah, karena trauma dua kali kemasukan orang yang tidak diundang, maka itulah yang dinamakan ketakutan. Dua kata yang berbeda tetapi kalau dirasakan menjadi beda tipis dalam prakteknya.

Jadi mana yang akan dipilih untuk menghadapi kejadian seperti di atas ? Dengan berjaga-jaga dan meningkatkan kewaspadaan untuk melindungi semua aset yang kita miliki itu memang diperlukan. Pertanyaannya sampai berapa lama kita bertahan dengan segala kewaspadaan itu sendiri. Jawabannya bisa beraneka rasa. Tergantung sudut pandang masing-masing individu. Khususnya dari kacamata ekonomi tentunya.

Orang yang dengan ekonomi strata menengah ke bawah tentu saja akan memilih meningkatkan kewaspadaan dengan pasang badan dirinya sendiri atau berkelompok dengan tetangga kiri kanan, untuk menghadapi kekuatiran. Lain halnya dengan orang yang ekonominya menengah ke atas. Mereka dengan leluasa menggunakan uangnya untuk memasang CCTV tingkat canggih sampai minta bantuan tenaga pengaman di rumahnya.

Tetapi bagaimana kalau yang mengalami peristiwa di atas menjadi ketakutan dan traumatik ? Bisa jadi untuk orang yang dengan ekonomi menengah ke bawah akan berganti jaga dengan orang yang ada di rumah. Bisa juga akan pindah kontrak rumah sementara ke lain tempat. Dan rumahnya sendiri akan dikosongkan atau dikontrakkan kepada orang lain. Namun buat orang traumatik yang kaya, hal itu tidak menjadi persoalan. Karena mereka bisa beli rumah lagi di tempat lain, dengan sistem cluster yang dilengkapi dengan security dua puluh empat jam.  

pexels-shvets-production-7193896
pexels-shvets-production-7193896

Sepertinya disini tolok ukur pembeda antara orang yang diliputi kekuatiran dan didera ketakutan. Seperti halnya saat Covid-19 menghantam negeri ini. Banyak orang yang kuatir akan tertular sehingga merespon dengan tinggal di rumah dan melakukan WFH. Bahkan sebagian lagi malah diliputi rasa mencekam akan datangnya kematian. Benar begitu ?

Disatu sisi ketika ini dikembangkan dari sudut keimanan seseorang, akan berbalik kepada diri sendiri ? Dimana posisi iman kita sendiri menghadapi kekuatiran dan ketakutan? Mengapa ini bisa terjadi ? Apakah karena iman kita sudah menipis atau iman kita justru dikalahkan oleh kekuatiran dan ketakutan ?

Sebuah introspeksi diri kita naikkan. Apakah ketika manusia mengalami kematian, semua terjadi karena Covid ? Dengan kata lain, apabila Sang Khalik berkehendak memanggil kita pulang ke haribaannya, tergantung waktu-NYA. Bisa saja saat sedang berpesta, tiba-tiba meninggal. Atau tiba-tiba meninggal saat beribadah. Semua Tuhan yang punya otoritas bukan ?

pexels-monstera-5849597
pexels-monstera-5849597

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun