Mohon tunggu...
Hermanto
Hermanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan dari Pedalaman

26 Desember 2020   19:42 Diperbarui: 26 Desember 2020   19:54 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita dengar bahwa tekad yang kuat adalah kunci dari kesuksesan. Maka dari itu, setiap orang dituntut untuk mempunyai tekad bulat dan cita-cita mulia. Tekad itu bisa lahir pada diri siapapun, namun hasil akhirnya tentu tergantung dari bagaimana orang itu menyikapi tekad yang hadir. Sikap kita lah yang akan menentukan akan ada di posisi mana nantinya. Karena pada intinya, kita kembali pada kenyataan bahwa "Setiap orang mempunyai tekad, tapi tidak semua orang dapat memperjuangkannya."

Ropang. Sebuah desa yang terletak di balik Perbukitan dan Pegunungan Pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk menuju ke Kabupaten, dari desa ini menempuh waktu selama 2-3 jam perjalanan darat. Masih jauh dari hiruk pikuknya suasana perkotaan. Terlihat jelas dari bagaimana kondisi jalanan yang sebagian besar belum beraspal, sinyal handphone yang lemah, teknologi yang masih sangat minim digunakan, listrik belum optimal, dan hanya menyala ketika malam hari. Sementara dari masyarakatnya sendiri, keramahtamahan yang mereka miliki sudah menjadi teman setia ketika kita datang berkunjung. Mereka ramah dan hidup dalam kesederhanaan.

Ada seorang pemuda yang berasal dari sana. Pemuda yang baru saja menginjak 20 tahun itu kini tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Namun bukan berarti ia tidak pernah ragu akan masa depannya, ia justru harus ber-terima kasih dengan sedikit "keras kepala" yang ditunjukkannya saat masih duduk di bangku SD.

Impian untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di kota, tentu membuat dilema karena banyak hal yang harus jadi pertimbangan. Termasuk biaya yang pastinya tidak sedikit. Buku-buku baru, seragam baru, juga biaya transportasi untuk menuju kesana.  Karena kondisi keuangan dulu yang serba pas-pas an, mungkin hanya cukup untuk makan. Bahkan pernah satu waktu beras sama sekali tidak punya, habis. Bemaksud meminta sedikit ke tetangga, tapi karena juga sama pas-pas annya, akhirnya tidak di berikan.   Tapi tetap saja, anak kecil yang duduk di bangku kelas empat SD itu ingin pindah sekolah ke kota. Sekolahan di sana lebih bagus, katanya.

Negosiasi terus terjadi. Orangtua mana yang rela jauh dari anaknya yang masih kecil? Tapi semakin banyak alasan yang disampaikan orangtuanya, sedikitpun tidak meruntuhkan pendiriannya. Tekadnya menggebu, bahkan saat ia sendiri belum mengenal kata itu. Namun, setelah banyak pertimbangan, diantaranya memang benar jika pendidikan di kota akan jauh lebih baik daripada di desa, akhirnya izin itu diberikan. Meskipun sang bapak harus mencoba semua pekerjaan. Mulai dari pawang ular, ngojek, mencari madu hutan, dan banyak lainnya. Semua demi keluarga. Anugerah dari Tuhan yang tidak akan pernah ingin ia kecewakan.

Pemuda itu pindah ke kota saat pertengahan kelas empat SD. Itu sekaligus menjadi momen penting baginya, menjadi gerbang awal hingga nantinya bisa sampai pada titik ini. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa mustahil bagi seorang anak pedalaman untuk bisa bersaing dengan anak-anak kota. Tapi, pemikiran itu tidak sepenuhnya benar. Suasana kota tentu tidak akan pernah sama dengan desa. Kota selalu lebih "maju" dibandingkan desa. Tapi ketika berbicara mengenai tekad, harapan, dan semangat, meskipun beradaptasi itu tidak mudah, bukanlah menjadi penghalang. Itu menjadi bukti ketika ia berhasil menyelesaikan pendidikan wajibnya dengan sangat baik. Datang ke kota dengan masih mengenakan seragam merah putih, hingga akhirnya berhak untuk melepaskan seragam putih abu-abunya.

Lambat laun akhirnya roda kehidupan semakin membaik. Sekarang, ketika mulai ada pertambangan emas yang masuk ke daerah itu, kondisi ekonomi masyarakat mulai berbeda. Sebagian ada yang menjadi pekerja dari tambang itu sendiri, sebagian ada yang mencoba membuka usaha. Menjual sembako misalnya. Karena ketika para pekerja itu akan masuk ke tambang, mereka akan membeli kebutuhan pangan di toko-toko tersebut.

Pemuda itu kemudian mulai melangkah ke mimpi selanjutnya. Kuliah, dengan Yogyakarta sebagai tujuan. Lagi, harus "bernegosiasi" terlebih dulu karena kedua orangtua tidak mengizinkan dengan alasan terlalu jauh. Sempat terlintas pemikiran jika tidak akan bisa sampai pada tahap mahasiswa. Namun karena tekad yang kuat agar mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik dari apa yang telah ia dapatkan sebelumnya, akhirnya anak pedalaman itu semakin melebarkan langkahnya. Ditemani dengan tekad, harapan, semangat, serta ridho Allah SWT dan kedua orangtua, mampu membawanya melangkah dan berpijak disini, di Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun