Mohon tunggu...
Hermanto Hermanto
Hermanto Hermanto Mohon Tunggu... -

Hanya sebutir pasir ...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kapas

19 Juli 2010   00:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau tidak salah orang menyebut kegelapan ini gulita. Aku hampir tidak dapat melihat apa-apa. Tapi, tak urung aku merasa ada yang aneh. Seingatku tadi aku sedang tidur bersama keluargaku, di kamar kami. Tapi … ini rasanya bukan kamarku. Meskipun gelap, aku bisa tahu bahwa di samping tempat tidurku ini kosong, tidak ada orang, … apakah istri dan anak2ku sudah bangun? Tidak mungkin.Selama ini selalu aku yang bangunnya paling pagi. Dan lagi, ini bukan pagi hari. Dan lagi, untuk apa mereka bangun dan keluar kamar di tengah malam. Dan lagi, rasanya ini bukan kamar yang kukenal …

Selintas pikiran ketakutan menyusup dalam benak. Bulu kuduk pun merinding. Hmm, coba kutenangkan diriku. Aku menutup mata, menarik nafas perlahan, dan dengan lembut meniupkannya kembali. Lalu kubuka mataku. Akumasih tetap di tempat yang sama – tempat yang tak kukenal. Satu2nya yang kukenal adalah selimut loreng2 biru ini – selimut kumal yang sudah bertahun-tahun selalu kupakai. Aku masih tetap di ruangan yang sama – namun rasanya ruangan ini lebih besar sedikit dari yang tadi – tidak – memang lebih besar – tidak sedikit – aneh. Kucoba memejamkan mata lagi, dan membukanya. Ya, kali ini ruangan ini menjadi lebih besar lagi. Pasti. Ruangan ini memuai! Aku berada di sebuah kamar tidur yang luas sekali, dengan kasur yang tetap kecil. Entah ruangan ini yang membesar ataukah aku yang mengecil? Terbersit apa jadinya kalau aku mengedip2kan mataku terus menerus. Namun aku tidak akan melakukannya. Namun begitu pikiran itu melintas, sukar rasanya ditepis. Timbul dorongan yang kuat dalam hatiku untuk mengedip2kan mataku. Ah, aneh2 saja. Dorongan liar tanpa tujuan. Namun makin ditahan, makin ingin mengedip rasanya. Ya Tuhan, nafsu manusia memang tak terbendung, makin dilarang makin menjadi. Akhirnya aku mengedipkan mataku beberapa kali dengan cepat, dan …

Ruangan ini membesar, membesar, dan membesar, hingga akhirnya menghilang menyatu dengan bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Tidak ada lagi batas2 dindingnya. Tidak ada lagi jendela. Tapi desiran AC masih aku rasakan. Tidak, ini bukan AC. AC-nya sudah menghilang pula. Ini adalah belain alami angin yang mendesir. Namun agak sedikit terlalu kencang.Dan suara deru AC yang perlahan tadi menjadi agak kencang, dan sebentar ada, sebentar menghilang. Kualihkan pandanganku dari bintang-bintang di langit, dan kulihat ke sekelilingku. Mengapa ada ombak di dalam kamarku? Deburannya lah yang kudengar tadi.

Dalam keheranan ini ada kesadaran. Aku mencoba duduk. Kutekan kasurku untuk bertumpu, namun tanganku menyentuh sesuatu yang luruh, lembab dan dingin. Pasir? Aku terpana seakan tak percaya, ranjangku telah lenyap digantikan oleh pasir tepi pantai. Jadi selama ini aku telah tertidur lelap di pinggir pantai, di atas hamparan pasir. Ah, bukan begitu. Aku yakin aku tidur di kamarku sendiri, dengan keluargaku, bukan diatas hamparan pasir seperti ini. Tapi kepada siapa aku hendak berbantah? Kenyataannya sekarang aku ada di sini. Entah bagaimana.

Aku menggosok2kan mataku. Aku menutupi wajahku. Dan secara tak sengaja aku menyentuh sehelai kapas yang ada di wajahku. Kapas? Aku mencoba meraihnya. Aduh! Sakit! Kapas ini menempel di wajahku! Aku pun panik! Hendak minta tolong pada siapa? Jantungku berdebar keras. Bayangan2 penuh kesadaran berputar-putar dalam pikiranku. Sulit kumenerimanya. Mungkinkah …

Sudah setua inikah aku? Seingatku umurku belumlah 40. Namun, dengan janggut putih seperti ini, aku juga tidak tahu berapa umurku kini. Tiba2 aku merasa renta. Aku bingung, tidak tahu, kemanakah masa mudaku pergi? Mengapa aku di sini? Dimanakah anak2 dan istri yang kucintai? Dimanakah rumah dan segala harta yang telah kukumpulkan?

Aku takut …Aku menyesal …Aku takut menyesal.Tapi kalau nasi sudah menjadi bubur …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun