Ada kisah unik tentang Yesus. Sewaktu dia sedang mengajar di tengah kerumunan orang, para pemuka agama datang sambil menyeret seorang wanita. Rupanya wanita tsb tertangkap basah sedang berzinah. Mungkin saja waktu diseret begitu, pakaiannya sedang berantakan, tidak tertutup dengan baik. Sewaktu membaca ini, saya pikir ini bukan kejadian langka. Jaman sekarang pun banyak kejadian seperti ini masuk koran. “Petugas merazia hotel, dan menemukan pasangan bukan suami istri sedang ber… ria!” Kira2 seperti itu judul berita di koran. Di daerah2 tertentu bahkan dilakukan hukuman agama yang berat bagi yang tertangkap melakukannya. Bisa saja wanita tersebut adalah seorang pemudi yang memang kesengsem dan menyerahkan diri pada seorang pemuda, bisa pula wanita itu memang seorang pelacur yang kok apes lagi tertangkap.
Para imam dan pemuka agama ini membawa wanita pezinah itu ke hadapan Yesus, bukan untuk minta Yesus menjadi hakim, tapi ingin mengetes Yesus, ingin tahu apa yang akan dilakukan Yesus padanya. Menurut hukum yang ada, yakni hukum Musa, wanita seperti ini harus dilempari batu sampai mati, atau dengan kata lain, dihakimi massa. Apakah Yesus akan melakukan hal itu?
Tapi Yesus hanya berjongkok dan diam saja. Ia hanya seperti sedang menulis sesuatu di tanah. Orang-orang mulai tidak sabar dan terus menekan dia untuk membuat keputusan. Akhirnya Yesus berdiri, dan dia mengatakan,”Silahkan. Siapa di antara kalian yang tidak punya dosa, silahkan menjadi yang pertama untuk melempar batunya.” Lalu dia jongkok lagi tenang-tenang. Sebuah jawaban yang menarik, dan sebuah sikap yang aneh. Saya tidakhabis pikir, mengapa ia berjongkok?
Jawaban itu membuat semua yang hadir terdiam. Tidak ada yang berani maju. Tak lama kemudian, orang2 yang berkerumun dan siap melakukan penghakiman massa itu satu per satu mulai pergi. Sampai akhirnya, tinggal Yesus dan perempuan itu saja. Perempuan itu pun diam tak mau mendahului bergerak.
Lalu Yesus menengadahkan kepala seakan baru teringat sesuatu dan meninggalkan keasyikannya, dan bertanya dengan polosnya,”lho, pada kemana semua mereka? Apakah ada yang menghukum kamu?”
Tapi perempuan yang tahu nyawanya telah diselamatkan itu dengan sopan menjawab,”Tidak ada, Tuan.”
“Aku pun tidak,” kata Yesus,”mulai sekarang, jangan berdosa lagi.”
Dengan bertindak seperti ini, Yesus menyelamatkan nyawa wanita itu, sekaligus tidak menyalahi hukum Musa, sekaligus mempertobatkan wanita itu. Yesus memang memiliki perhatian spesial kepada kelompok2 orang nista dalam masyarakat, seperti para pelacur, dsb.
Yang ingin saya soroti dalam cerita ini bukanlah wanita itu, namun orang2 yang berkumpul di sana yang hendak melemparinya dengan batu. Sebenarnya, ketika mereka hendak menghakimi wanita itu, mereka dalam hati merasa dirinya benar, merasa bukan orang berdosa, sehingga merasa berhak menjadi hakim. Dan saya hendak menggaris bawahi, bahwa ini adalah satu sikap yang sangat manusiawi, yakni secara natural akan kita lakukan, meskipun salah.
Di Indonesia kita memiliki pepatah,”kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.” Yesus juga mengatakan hal yang serupa,” Jangan menghakimi! Hai kamu orang munafik, pertama2 seharusnya kamu mencabut dahulu balok di kelopak matamu, supaya kamu bisa melihat dengan jelas untuk bisa membantu saudaramu yang matanya kelilipan serbuk kayu!”
Sebelum kita menuduh seseorang berdosa dan menghakiminya, sebaiknya kita menyelidiki diri kita lebih dahulu. Kalau kita mau jujur, maka tidak ada seorang pun yang tidak berdosa. Karena itu, sikap yang paling benar adalah seperti kata Yesus, jangan menghakimi. Dalam kamus Yesus, tidak ada yang namanya penghakiman massa.
Sebuah kisah dari Naserudin memberikan penekanan yang sama. Saya tidak ingat dimana saya baca kisah ini, namun isinya selalu saya ingat. Suatu ketika seorang ibu menghadap Naserudin meminta tolong dalam kapasitas Naserudin sebagai hakim untuk menasehati anak ibu itu yang suka terlalu banyak makan permen. Mungkin ibu itu kuatir anaknya giginya bolong. Namun diluar dugaan, Naserudin mengatakan bahwa ini perkara yang sulit baginya. Lho kok bisa? Bukannya hanya menasehati saja?
Naserudin minta waktu beberapa minggu sebelum akhirnya dia memanggil anak itu. Lalu Naserudin memberinya nasehat,” Nak, jangan makan permen terlalu banyak ya!”
Ibu itu merasa, hanya nasehat begitu tok kok butuh waktu lama banget bagi seorang hakim besar seperti Naserudin? Dalam keheranannya, ia bertanya kepada sang hakim.
“Iya,” kata Naserudin,” karena saya juga masih punya kebiasaan makan banyak permen. Jadi sebelum saya bisa menasehatinya, saya harus memperbaiki diri saya dulu.”
Sungguh Naserudin yang bijaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H