Rasanya jamak ya para bapak yg punya anak perempuan pengen agar anaknya bisa bermain piano. Demikian juga aku. Sadar punya 2 anak perempuan dan pengen mereka pintar bermain piano maka aku prioritaskan tabunganku untuk membeli piano sejak mereka masih balita. Bahkan sempat membawa anak yg sulung ke tempat kursus piano di Kota  Solo (saat berdomisili) yg nama tempat kursusnya merupakan franchising sekolah musik dari Jakarta padahal saat itu belum punya piano. Karena harga piano yg sangat mahal, aku berpikir lebih baik kursus piano dahulu aja dan bila anak berbakat, baru membeli piano.
Ketika mendaftar, guru piano melihat jari tangan anak sulungku yg masih kecil, ringkih dan lemah. Secara halus sang guru menolak untuk mengajar dan menganjurkan mendaftar tahun berikutnya setelah jari tangannya dipandang lebih besar dan kuat.
Prasyarat ini penting agar jarinya lebih lentur dan punya jangkauan yg lebih lebar untuk membuat kunci nada dan lebih keras menekan tuts sehingga menghasilkan bunyi nada yg lebih keras dan jelas. Kalau dipaksakan khawatir akan merusak tumbuh kembang jari tangan anak.
Ketika anak kedua lahir yg juga seorang perempuan, membuat alasan untuk membeli piano semakin kuat dan tentunya mewajibkan anak pertama yg sudah mulai mencukupi syarat untuk kursus dan kelak anak kedua juga harus ikutan seperti kakaknya.
Entah kenapa dan mungkin sama pendapatnya dengan kalian para bapak, kalau punya anak perempuan pada umumnya pengen mereka bisa bermain piano. Seorang anak perempuan menurutku akan kelihatan lebih anggun dan cantik kalau dia bisa bermain piano. Bahkan citra perempuan akan lebih berkelas bila dapat memainkan alat musik yg berasal dari barat ini.
Tanpa melihat apakah anakku berbakat atau mempunyai minat yg kuat untuk bermain piano, anak pertamapun kuwajibkan kursus dan setelah tabungan mencukupi aku beli sebuah piano bekas di toko musik yg saat itu harganya 2 kali harga sepeda motor bebek. Sangat mahal harganya bagiku walaupun ibunya anak-anak masih bekerja.
Kupandangi piano tsb cukup lama setelah teronggok di ruang tengah rumah. Isi rumah memang terkesan menjadi lebih mewah dan berkelas dengan keberadaan piano itu.
Perlakuan terhadap piano pun cukup istimewa. Setiap kali sidik jari dan tapak tangan menempel di dinding piano segera dibersihkan dengan lap khusus dan saat tidak dimainkan harus disarungi dengan kain yg indah berumbai.
Saat udara dingin terutama dimusim hujan, saklar piano harus dicolok ke listrik agar memberikan kehangatan bagi papan piano sehingga kondisinya selalu stabil dan tetap menghasilkan suara yg merdu.
Secara berkala, kami harus menghubungi teknisi untuk menservice dan menyetem dawai piano agar tetap dapat mengeluarkan bunyi sesuai dengan nada semestinya. So classy...
Kadang aku bertanya dalam hati. Membeli piano yg mahal ini apakah karena obsesiku sebagai orang tua yg pengen lihat anaknya pintar bermain piano atau memang keinginan anakku yg walaupun tidak menggebu tapi dengan dukungan ortunya yg optimal akan dapat tergali bakat bermusiknya khususnya bermain piano.
Mengikuti kelas kursus piano cukup rutin diikuti anak sulungku tapi menyentuh dan bermain piano di rumah sangat jarang dilakukannya. Sarung piano dan kotak tuts baru dibuka saat akan berangkat kursus karena takut ditanya oleh guru kursusnya.
Tapi aku masih optimis, mungkin karena dia masih kecil dan belum mengerti manfaat bermain piano. Suatu saat ketika beranjak dewasa dan mengenal banyak lagu, dia akan lebih serius mempelajari dan mulai suka mengulik lagu dengan piano.
Pindah ke Berlin Jerman, piano tsb tidak dibawa karena ongkos angkutnya sangat mahal dan tidak ada juga desakan dari anakku untuk membawa piano tsb. Namun setelah beberapa lama tinggal di Berlin, dorongan keinginan agar kedua anak perempuanku bisa bermain piano kembali muncul.
Ada rasa khawatir sebagai ortu dalam diriku kalau setelah mereka dewasa tapi tidak bisa bermain piano seperti merasa bersalah. Dorongan tersebut semakin kuat setelah mengetahui kalau Jerman merupakan salah satu pusat pertumbuhan dan perkembangan musik klasik dunia.
Tokoh musik klasik dunia seperti Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven berasal dari Jerman. Setiap kota tersedia gedung tempat pertunjukan musik klasik.
Setiap kali ada pertunjukan jumlah penonton yg datang membludak, lebih banyak dibanding penonton cinema sekalipun film box office Hollywood. Gemerlap film Hollywood belum dapat mengalahkan kemegahan musik klasik.
Penontonnya kebanyakan orang yg sudah berumur dan umumnya membawa pasangan dan berdandan dengan rapi. Penampilan penontonnya cukup berkelas apalagi pemain musiknya. Gedungnya sangat megah dan indah bergaya renaissance. Semua duduk dengan tertib dan berjajar rapi sesuai nomor kursi yg tertera di karcis.
Tidak boleh ada yg berisik sekalipun membuka plastik permen saat pertunjukan sedang berlangsung. Semua mata akan melotot ke arahmu. Tepuk tangan ada saatnya setelah 1 lagu pertunjukan usai. Gak boleh musik sedang mengalun, kamu bertepuk tangan. Bisa ditarik keluar oleh sekuriti.
So classy...but quite boring for me. Terlebih tidak adanya hentakan irama yg mengajak kita berdendang dan bergoyang. Alunan musik lebih mengajak kita berkontemplasi dari pada menghibur diri (maklumlah aku berasal dari negeri pencinta dangdut..he..he..).
Bermain musik klasik bagi anak Jerman sama halnya seperti anak Indonesia belajar bermain kecapi, gamelan, angklung dan musik tradisional lainnya.
Dengan dibantu teman, akhirnya anakku didaftarkan ditempat sekolah (kursus) musik atau musik schule yg dikelola pemerintah Jerman di kota Berlin.
Ya..aku harus meminta bantuan temanku untuk bisa diterima disekolah musik tsb. Itupun setelah menunggu hampir 6 bulan lamanya karena terbatasnya kuota bagi anak yg mau kursus piano.
Ternyata walaupun sekolah musik yg dikelola pemerintah Jerman ada disetiap kota namun karena antusiasme masyarakat Jerman yg tinggi untuk belajar musik mengakibatkan sulitnya mendapatkan jatah kuota anak utk belajar di sekolah musik yg dikelola pemerintah.
Kalau mendaftar kursus di sekolah musik yg dikelola swasta, kesempatan untuk diterima kursus piano memang lebih besar walaupun belum tentu sewaktu-waktu tersedia namun biaya kursusnya cukup mahal sedangkan sekolah musik yg dikelola pemerintah Jerman mendapatkan subsidi sehingga biayanya jauh lebih murah.
Kebetulan temanku sudah kenal dengan guru piano sekolah musik tsb dan anaknya juga lulusan sekolah musik yg sama dan sangat handal bermain piano klasik. Referensi dari anak temanku tsb sangat membantu utk mendapatkan prioritas belajar piano di sekolah musik tsb. KKN kecil-kecilan..he..he..
Namun lagi-lagi syarat yg diminta guru kursus piano di Jerman tetap sama seperti guru kursus di Indonesia. Anak yg mengikuti kursus harus mempunyai piano di rumahnya. Akan sulit belajar piano jika tidak tersedia piano di rumah karena sangat diperlukan untuk latihan.
Aku rasanya menyesal tidak membawa piano dari Indonesia tapi keadaan sudah terlanjur dan pilihannya membeli piano atau anak tidak jadi ikut kursus walaupun sudah diterima sebagai muridnya.
Akhirnya dengan mempertimbangkan sudah memiliki piano di Indonesia, aku membeli keyboard saja walaupun guru musik tidak merekomendasikannya.
Selain harga keyboard lebih murah juga punya banyak fitur-fitur pilihan jenis suara dan rentak irama yg diperlukan utk mengiring lagu. Orkestra mini sudah tersedia di dalam 1 perangkat keyboard dan sangat cocok kalau nantinya anakku saat remaja suka memainkan musik pop.
Menurut guru piano, feel dan cara memainkan piano dan keyboard tidaklah persis sama. Terlebih bila memainkan musik klasik. Dari denting dan gema suara yg tercipta bisa dibedakan. Suara piano lebih megah dan mengalun lebih indah. Tapi bodo amatlah..masak beli piano lagi (dalam hatiku membandel).
Aku sangat senang kedua anakku bisa diterima kursus piano di Berlin. Pengajarnya seorang ibu sudah berumur berkebangsaan Jerman dan telah banyak mendidik anak murid yg berprestasi termasuk anak temanku yg pernah juara kompetisi piano klasik tingkat sekolah menengah se Berlin.
Dengan belajar piano, anakkupun mendapatkan manfaat lain yakni kemampuan berbahasa Jermannya akan meningkat karena ibu guru piano selalu berbicara dengan menggunakan bahasa Jerman (Deutsch) dan kurang fasih berbahasa english. Aku merasa yakin, kedua anakku akan semangat belajar piano dan bermain keyboard di rumah.
Setelah mengikuti kursus piano beberapa bulan, ternyata minat belajar piano tidak seperti yg kubayangkan. Kondisinya sama seperti di Indonesia dahulu. Keyboard di rumah hanya dimainkan kalau akan menghadiri kursus piano dan agak sering dimainkan kalau akan ada test atau konser mini piano di tempat kursus.
Kecewa...ya tentu saja. Dan kondisi malas bermain dan mengulik piano (keyboard) di rumah sama-sama melanda kedua anakku. Mereka memang ada kemajuan bisa membaca not balok namun karena jarang latihan tentu skill memainkan piano tidak akan berkembang sebagaimana yg diinginkan.
Membaca not balok memang merupakan suatu kemampuan khusus namun keterampilan bermain musik sangat ditentukan dengan kesungguhan rutinitas latihan.
Temanku yg anaknya pintar bermain piano bilang setidaknya setiap hari selama 15 menit anak harus latihan piano di rumah agar jari jemarinya semakin lentur dan lincah dan dapat menghapal serta menguasai banyak partitur lagu klasik yg cukup rumit.
Perbedaan bermain musik klasik dengan musik pop atau jazz adalah notasi nada yg dimainkan harus dihapal atau dibaca sesuai dengan partiturnya  secara benar dan tepat. Minim improvisasi namun ketat dalam pakem notasi. Dibutuhkan kedisiplinan lebih untuk penguasaan harmonisasi sebuah lagu.
Ditengah situasi yg tidak menyenangkan atau lebih tepatnya mengecewakanku, tiba-tiba anak sulungku meminta agar dapat dibelikan sebuah gitar. Dia rada bosan latihan piano dan pengen belajar bermain gitar. Di sekolahnya, teman-temannya rata-rata pada bisa bermain piano dan kemampuan bermain piano bukanlah sesuatu yg luar biasa di Jerman.
Hampir semua anak bisa bermain piano sehingga baginya bisa bermain bermain piano adalah hal yg biasa dan kurang begitu menarik. Tapi dia melihat tidak semua anak bisa bermain gitar dan anakku dan teman-temannya sangat senang dan kagum melihat apabila ada temannya yg bisa bermain gitar.
Mendengar penjelasannya, ternyata kondisinya berkebalikan dengan kecenderungan anak-anak belajar musik di Indonesia. Karena harga piano yg mahal kebanyakan anak-anak di Indonesia lebih cenderung belajar gitar daripada piano.
Umumnya anak remaja laki-laki akan meminta dibelikan sebuah gitar atau minimal ada sebuah gitar yg tergantung di dalam kamarnya. Sama seperti masa remajaku dulu, pikirku.
Tapi aku tidak meluluskan keinginannya dan menghiraukan alasan kecenderungan mengikuti minat teman-temannya. Dengan tegas ku jelaskan, bagi anak Jerman bisa bermain gitar memang sangat mengagumkan tapi bagi anak Indonesia bisa bermain piano justru lebih mengagumkan. Kemampuanmu bermain piano akan menjadi modal social skill masa depanmu saat nantinya kembali ke Indonesia.
Pendekatan memandang kebutuhan kemampuan memainkan alat musik antara kamu dengan teman-teman Jermanmu berbeda. Dengan demikian, belajar gitarnya nanti aja. Prioritaskan belajar piano, terlebih belajar pianonya di negara yg sangat piawai memainkan musik klasik.
Harus fokus belajar satu peralatan musik dahulu hingga expert. Jangan setengah-setengah, nanti satu sama lain malah akan mengganggu dan merusak skill bermusikmu, kataku.
Setiap kali kujelaskan alasan dan pertimbangan ini, muka anak sulungku langsung sewot. Aku tahu dia tidak setuju dengan pendapatku. Aku menduga keinginannya belajar bermain gitar hanyalah hangat-hangat tahi ayam. Setelah itu gitarnya akan menjadi pajangan seperti nasib piano atau keyboard di rumah.
Berbulan bahkan mungkin bertahun permintaan membeli gitar tsb aku abaikan. Tetap memaksa agar fokus dahulu belajar piano. Walaupun keinginanku dituruti si sulung dengan selalu mengikuti kelas piano tapi aku tahu dia tidak begitu happy karena keinginannya tidak dituruti.
Ada temanku menasehati agar permintaan putriku tsb dipenuhi aja. Barangkali dengan diberi kesempatan belajar bermain gitar nantinya akan menggugah dia untuk lebih tekun belajar piano.
Karena dengan mengetahui persis perbedaan permainan kedua alat musik tsb akan mendorong anak untuk memadukan permainan gitar dan piano. Â Ada kelemahan irama suara gitar yg bisa diisi dengan musik piano dan sebaliknya.
Pendapat temanku itu tidak sepenuhnya benar menurutku karena bagiku konsistensi dan komitmen itu sangat penting dan diperlukan dalam bidang apa saja. Tidak boleh setengah-setengah mempelajari sesuatu sehingga kita tidak mendapatkan hasil yg maksimal.
Suatu ketika aku pernah menonton tayangan video youtube rekaman wawancara sebuah TV nasional terhadap seorang ibu yang anaknya merupakan musisi terkenal di tanah air dan personil utama dari sebuah band. Banyak lagu dari band tsb yg sebagian besar merupakan karya ciptanya dan lagu-lagunya selalu hits dan legend.
Si ibu memberikan testimoni tentang kesuksesan anaknya dalam bermusik. Sejak anaknya TK sudah dimasukkan kursus piano. Alasannya, belajar piano selain membuat otak kanan anak semakin berkembang, memainkan peralatan musik ini punya kesan berkelas secara sosial.
Dan si anak juga awalnya menyukai dan menikmati belajar piano dan bermain musik. Padahal anaknya seorang lelaki yang mana saat jaman itu di Indonesia masih jarang anak laki-laki kursus piano. Umumnya anak perempuan yg banyak mengikuti kelas piano.
Beranjak remaja, anak tsb mulai jenuh dan meminta orangtuanya agar diperkenankan belajar gitar. Alasannya agar lebih gaul dan modist terlebih karena melihat frontman anak band lebih dicitrakan oleh vokalist dan gitarist nya. Walaupun saat itu kurang setuju namun si ibu memberikan kesempatan anaknya belajar bermain gitar dengan syarat tetap belajar bermain piano.
Setelah belajar beberapa lama dan mulai pintar bermain gitar, si anak merasakan saat mengulik-ulik nada untuk membuat harmonisasi sebuah lagu ternyata kombinasi penguasaan permainan gitar dan piano dapat saling melengkapi dan sentuhan piano akan lebih memperkaya nada-nada yg sudah terkonsep dengan baik dalam permainan gitar.
Dia mengatakan akan berbeda taste sebuah lagu yg diciptakan oleh seorang komposer yg hanya menguasai permainan salah satu peralatan musik baik gitar atau piano dan yg menguasai permainan kedua alat musik tsb. Lagu yg diciptakan akan lebih grande dan berkelas serta kunci lagunya pun akan lebih kaya dan variatif bila mampu memainkan kedua alat musik tsb.
Setelah menonton tayangan youtube, pendapatku selama ini menjadi rada goyah. Disatu sisi anakku akan belajar piano dengan setengah hati karena mengikuti keteguhan hati bapaknya, di sisi lain apabila diberikan kesempatan belajar bermain gitar maka waktu belajar piano klasik di Jerman menjadi terbatas.
Akhirnya aku mengambil suatu keputusan yg masih spekulatif kebenarannya, walaupun tidak disetujui mamanya anak-anak, aku membuat komitmen dgn anak sulungku. Oke, daddy luluskan permintaanmu membeli sebuah gitar namun dengan 2 syarat yaitu:
- Belajar gitarnya harus secara otodidak.
Bisa melalui youtube, belajar dengan teman
di sekolah atau dengan teman daddy yg
pintar bermain gitar; dan
- Kursus pianonya tetap berlanjut dan serius.
Kalau semangat belajar pianonya semakin
melorot maka belajar gitarnya akan
dihentikan.
Gentleman agreement pun ditandai dengan senyuman sumringah anak sulungku (walaupun dia bukan lelaki). Dengan mata berbinar-binar dan semangat 45, dia melangkah tegap bersamaku menuju toko musik di dekat apartmen kami tinggal. Aku juga sebelumnya membeli keyboard di toko musik ini.
Banyak sekali gitar berbagai model dan merk yg tergantung di toko musik tsb. Harganya variatif dari kisaran ratusan hingga ribuan euro. Belum termasuk asesorisnya seperti selempang gantungan gitar, besi standing, kabel listrik, tas pembungkus dll.
Mahal tidaknya harga sebuah gitar selain karena terkenalnya merk juga jenis kayu yg dipergunakan untuk membuat badan dan leher gitar. Dari berbagai bahan kayu yang dipergunakan, aku sangat surprise ternyata ada yg berasal dari Indonesia tepatnya dari Sulawesi Selatan (Macassar Ebenholz).
Dengan pertimbangan sebagai pemula (padahal keterbatasan budget..he..he..), kamipun membeli sebuah gitar yg harganya menengah namun cukup enak untuk dimainkan. Sesuai saran temanku yg khusus kuminta bantuannya bersama datang ke toko gitar, gitar yg dipilih disesuaikan dengan ukuran tubuh anakku. Tidak terlalu besar atau terlalu kecil sehingga nyaman untuk dimainkan.
Khusus motif dan warna  gitar..hmm ini tentu sesuai dengan kepribadian anak sulungku yg rada tomboy. Dia tidak mau berwarna cerah dan glossy tapi memilih yg berwarna rada redup dan dove. Aku sudah tebak pilihannya. Kali ini aku harus berkompromi dengan minat bermusik anakku namun tidak dengan blank cheque. Let see in a few next month what is going on.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H