Mohon tunggu...
Hermansyah Siregar
Hermansyah Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Menguak fakta, menyuguh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Milano, Kota 2 "Scudetto"

27 Maret 2018   15:23 Diperbarui: 29 Juni 2019   19:25 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku coba masukkan uang kertas 50 euro tapi ditolak mesin, ternyata kegedean. Vending machine gak mau terima klo kegedean, apakah gak ada kembalian atau mesinnya blom pinter ngitung ya...he..he..

Dengan berbekal tiket terusan 24 hours dan telepon genggam yang punya kuota internet maka kemanapun pergi keliling kota jangan khawatir. Mbah google akan memberi petunjuk dan arah yang jelas serta informasi jalur dan rute transportasi umum bahkan waktu keberangkatan dan kedatangannya.

Tiket yg dibeli sdh terintegrasi dgn berbagai moda angkutan umum tapi kelihatannya masyarakat Milan lebih nyaman naik kereta. Kehidupan bawah tanah apalagi rush hour lebih hectic dibandingkan suasana atas tanah. Pukul 19.00 cet suasana kota sudah sepi.

Warga Milan lebih suka nongkrong di cafe, makan di restoran berjam-jam dari pada muter jalan di tengah kota. Tipikal pembawaannya romantis lebih suka dengan suasana hening dan hikmat...he..he..

Ayo kita masuk ke gate..insert tiket ke dlm box pintu masuk dan putar tongkatnya ke arah luar. Cari platform yg sesuai. Suasana subway di Milan agak berbeda dgn Berlin. Atapnya dilapisi cat berwarna hitam dan tidak terlalu tinggi sehingga terkesan agak suram dan gerbong keretanya ada yg jadoel dan ada juga yg modern.

Khusus subway sebagian besar masih baru tp kereta atas tanah banyak juga spt gerbong kereta di Indonesia yg atapnya rada dekil dan dindingnya kurang mulus. Ada juga kereta trem yg modelnya sangat klasik tapi tampilannya kurang resik dan bunyi roda kereta trem yg menderit, merintih spt kekurangan oli.

Untuk transportasi publik, harus diakui Jerman is the best di Eropa dibandingkan dgn London, Paris dan Milan. Aku sebut Jerman karena hampir semua kota yang pernah dikunjungi di Jerman punya standar transportasi yg sangat nyaman, bersih, punctual dan modern.

Satu hal yg membuatku kagum, untuk naik kereta di Jerman, baik di atas tanah (S-Bahn) maupun di bawah tanah (U-Bahn) tidak ada pintu masuk sebagai barikade penyortiran menuju platform kereta, yg bisa dibuka setelah kita menginsert lembar karcis ke dalam meja box nya. Penumpang bebas keluar masuk menuju platform dan membeli karcis di vending machine di setiap paltform atau ke ticketing office. Karcisnya hanya berupa kertas tipis yg ukurannya lebih kecil dari KTP.

Penumpang nakal bisa aja langsung naik tanpa tiket karena tidak ada yang mengecek tiket ketika naik kereta namun hati-hati, kadang ada razia saat kereta sudah berjalan. Sanksinya denda minimal 60 euro. Masyarakat Jerman lebih disiplin dan sangat takut melanggar hukum.

dokpri
dokpri
Kalau ada yang bertanya, sistem mana yg lebih baik kita adopsi bila Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta beroperasi. Aku memilih sistem yg ada di Milan (kurang tahu bagaimana dengan kota di Italia lainnya) dengan pertimbangan disiplin masyarakat kita yg masih rendah dan rawannya gangguan keamanan. Selain penumpang yg tidak berbayar, gerbong MRT pun akan dijejali pedagang asongan, pengamen dan.... copet.

Tiket kereta sebaiknya berbahan platik spt di Singapore bukan kertas seperti di Milan karena mudah terlipat dan contain magnetiknya mudah rusak seperti yg aku alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun