Sumber: kompasiana.com
Dalam beberapa kesempatan di angkutan umum saya sering berbincang-bincang dengan penumpang lain. Inti perbincangan tersebut adalah kekecewaan terhadap operasional keuangan syariah. “Produk dan jasa yang ada di perbankan syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Bunga dan bagi hasil yang ditawarkan juga sama, perbedaannya hanya nama saja”.
Itulah fenomena yang sering penulis temui, baik di perkotaan maupun di pedesaan—semuanya mengatakan hal yang hampir sama. Sungguh memprihatinkan mengingat perjalanan industri keuangan syariah sudah lebih dari dua dekade tapi masih banyak masyarakat yang belum memahami dengan benar tentang konsep keuangan berbasis syariah. Dengan kata lain, masyarakat kita belum bangga dan berani mengatakan, “Aku Cinta Keuangan Syariah”. Ini merupakan indikasi jika tingkat literasi keuangan masyarakat kita masih rendah khususnya terkait keuangan syariah, di mana salah satu faktornya karena belum masifnya sosialisasi kepada masyarakat luas.
Nur Rianto (2009) menyatakan, hubungan antara intensitas sosialisasi yang tinggi oleh perbankan syariah dapat mempengaruhi masyarakat secara umum, di mana fungsi yang terkandung adalah menarik perhatian dan mampu menarik calon nasabah baru sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.
Edukasi dan Sosialisasi
Sebagaimana diketahui bersama, hingga akhir 2016 pertumbuhan perbankan syariah mencapai 19,67 persen. Sementara pangsa pasar (market share)perbankan syariah berada di angka 5,12 persen. Pencapaian ini tentu belum seberapa jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki bangsa ini.
Masyarakat butuh literasi agar memiliki pemahaman yang benar jika keuangan syariah sangat berbeda dengan sistem konvensional. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan literasi keuangan sebagai rangkaian proses atau aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge); keyakinan (confidence); dan keterampilan (skill);konsumen dan masyarakat luas sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan lebih baik.
Banyak cara untuk mengedukasi masyarakat. Misalnya, melalui mimbar-mimbar masjid. Masjid yang jumlahnya mencapai 800 ribu unit merupakan media yang potensial untuk mengedukasi masyarakat tentang ekonomi dan keuangan syariah. Para khatib atau ustadz perlu menyampaikan pentingnya berekonomi secara syariah seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir sekaligus entrepreneur sukses.
Sebelum menyampaikan materi ekonomi, para khatib harus dibekali pengetahuan tentang ekonomi dan keuangan syariah dengan cara mendatangkan praktisi atau pakar ekonomi syariah. Tentu isi ceramahnya tidak bersifat emosional keagamaan semata, tetapi pendekatannya harus rasional dan objektif bahwa keuangan syariah benar-benar unggul dan mampu menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia.
Selain melalui masjid, edukasi dan sosialisasi dapat dilakukan di pondok pesantren. Data Kementerian Agama jumlah pesantren terus meningkat hingga melebihi angka 27.230 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dari Sabang sampai Merauke. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang langsung bersinggungan dengan masyarakat sekitar, pesantren perlu ikut andil guna mengoptimalkan program sosialisasi keuangan syariah. Ribuan santri di tiap-tiap pondok pesantren harus mendapat pencerahan terkait apa dan bagaimana sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam.
Cara terakhir adalah memanfaatkan jejaring internet. Berdasarkan data e-Marketer pada 2014, pengguna internet di Indonesia mencapai 83,7 juta orang, berada di peringkat ke-6 terbesar di dunia. Bahkan e-Marketer memproyeksikan netter Indonesia akan menembus angka 112 juta orang pada 2017.