Mohon tunggu...
Herman Sahara
Herman Sahara Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Guru di Zaman Terbalik: Guru Bukan Lagi Seorang Petani

31 Mei 2017   09:32 Diperbarui: 31 Mei 2017   09:42 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru atau Petani?

Guru tidak lagi melihat murid seperti tanaman atau pohon. Tanaman atau pohon yang selalu akan tumbuh dan berkembang secara terus menerus sehingga akan menimbulkan perasaan bahagia lebih dari sebuah harapan dikala datangnya masa panen waktunya untuk menuai karena ia akan menghasilkan buah, bunga, dan memberikan manfaat bagi siapa saja yang menginginkannya. Sungguh jikalau tidak terpandang, tidak tersentuh, tidak terambil, dan sekalipun terjatuh ke tanah ia tidak akan sia-sia, tidak akan terbiar begitu saja, tidak akan menjadi sampah, tidak akan merugikan, bahkan ia justru secara tidak langsung membantu, meringan beban, menyingkatkan waktu, karena sekalipun terlerai jatuh dari tangkai tanah sudah tersenyum dan membuka tangan untuk menyambut karena ia akan menjadi bibit-bibit unggul juga benih-benih istimewa yang diterima bumi penuh kasih sayang karena akan menjadi awal dari keistimewaan muncul dan tumbuhnya bakal-bakal cemerlang sehingga nantinya apabila tidak produktif tetap akan menjadi pendukung dan penguat generasi tunas-tunas yang baru hadir walaupun hnya menjadi kompos yang mengurai, menyatu dengan tanah tetapi tetap bermanfaat maka ini akan berputar menjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya, tiada putus-putusnya demikian terjadi terus-menerus karena kasihnya seorang petani terhadap tanaman atau pohon.

Guru karat murid terjerat

Guru sekarang ini bukan lagi seorang petani yang menanam pohon itu karena seharusnya ia dapat menuai, menyemai, menyirami, memupuk, menyentuh dengan penuh pujian dan kasih sayang sehingga tumbuh berkembang, berbunga, berbuah dan tumbuh menjadi pohon yang kuat atau manusia mandiri. Tetapi guru sekarang ini serba tidak sempat karena tersekat-sekat, karena tersendat-sendat, karena berpakat-pakat, karena kaku dan terketat-ketat dalam sistem. Bagaimana mau menggemburkan lahan?, bagaimana bisa menanam?, bagaimana mungkin menyemai?, menyiram, memupuk apalagi menyayangi murid karena tidak lagi menganggap dan mengakui mereka bagaikan tanaman atau pohon yang seharus diayomi dengan penuh perhatian. Tanpa perhatian dan kasih sayang guru terlalu banyak pohon-pohon yang begitu tumbuh tetapi terbiar tak terpandang, tak tersentuh, tiada motivasi, nasehat, teguran, marah untuk menggugah agar terbangun dari tidur dan lena, membesar ala kadar, tidak subur serba kekurangan, sehingga kemudian layu, kering dan hampir mati secara mental dan akhlak kalau pun masih terus hidup ia akan tidak normal, aneh, karena di awal pertumbuhannya terganggu, dan tidak punya ketahanan. Akhirnya pohon-pohon itu kelihatan tegak berdiri tapi rapuh, lemah mudah terserang hama dan penyakit mental dan cemburu, mudah terpengaruh, gundah-gulana, galau penuh bimbang dan ragu, tiada arah dan pedoman, terombang-ambing, ditiup kesana dan kemari mengikut kemana arah angin, melayang dan terhempas sehingga hilang percaya diri, tidak kreatif, tidak punya inisiatif, susah berinovasi, cepat putus asa, maunya yang cepat saja, yang mudah saja, yang ringan-ringan saja, munculkan pandangan negatif, ide-ide politik yang licik dan curang tak peduli bagaimana nasib orang. Di ujungnya menjadi sampah walaupun disaluti coklat, keju, emas bahkan intan berlian tetapi baunya akan tetap terhidu dan tetrus dapat mengotori setiap sudut dan sisi kehidupan di masyarakat dengan sikap yang tidak tersentuh kekhawatiran melakukan salah dan dosa dan justr lebih angkuh dan bangga mengusung dan menjunjung tinggi kebebasan dengan slogan-slogan yang menyanjung hak-hak asasi manusi dan norma-norma perlindungan anak sebagai perisai pelindung dan tempat bersembunyi setelah melempar batu dan menyiram noda dan tuba.

Guru tulus diborgol HAM

Nasehat dan perhatian guru tidak lagi diperhitungkan nilai positifnya tetapi selalu akan disorot sebagai penyelewengan, pelanggaran, tindakan emosional, penyimpangan dari hukum-hukum hak-hak   manusia juga hak-hak anak. Kini tidak lagi dilihat seberapa besar pengaruh guru terhadap murid tetapi lebih dipandang seberapa sering guru dinilai baik bagi mereka dengan membiarkan murid mereka melanggar peraturan, menginjak-injak nilai disiplin, tersenyum lebar jika muridnya terlambat atau tidak membuat Pekerjaan rumah, tugas atau latihan, tetapi justru guru-guru digalakkan tersenyum riang penuh gelak ketawa untuk mengejar dan merayu murid agar taat disiplin, agar mengikuti remedial, kelas tambahan, juga untuk mengatakan agar mereka tidak mengulangi kesalahan dan pelanggaran lagi dengan penuh ekspresi wajah dan suara yang lembut dibalik kepura-puraan, membohongi diri, melanggar kode etik yang digariskan amanah dan tanggung jawab secara perasaan bukan diatas tulisan diatas putih dan tanda tangan.

Terlalu langka dan susah dicari guru yang tulus karena yang tulus urusannya tidak akan mulus karena akan terus berhadapan dengan kebijakan aturan dan sistem yang akan memaksa mereka hanya dapat berbuat  diam sambil dadanya dielus-elus. Guru yang tulus mempunyai tekad terbungkus integritas tanpa batas dikala sepi dan tidak ada harapan orang untuk hadir dan menyaksikan untuk ia melakukan setiap kebaikan-kebaikan. Semua usaha dan jerih payah untuk lebih dari tujuan tetapi demi anak muridnya menjadi baik dan sempurna secara budi dan akhlak. Bagaikan petani yang penuh kasih dan harapan menginginkan agar pohon-pohon itu tumbuh, berbuah, dan berguna bagi siapa saja tanpa mengurangi jatah orang lain, tanpa meresahkan orang lain, tanpa memberi tekanan terhadap orang lain, tanpa jemu-jemu menghadirkan senyum, kepuasan, kesyukuran, dan sayang kepadanya dan doa-doa sekalipun nanti telah pergi membawa gelaran si mati.

Sejati: hidup tak segan matipun mau

Guru sejati mengerahkan segala potensi kemanusiaannya bukan hanya untuk menjadi guru yang baik tetapi lebih dari bak seorang petani yang menyemai pohon-pohon kehidupan. Hidup penuh dengan amal, ilmu, dan akhlak mulia. Guru tanpa kasih sayang tidak lagi mempunyai metode karena sudah diarahkan harus seperti ini seperti itu jika tidak berarti tidak melakukan yang sesuai dan tidak pantas tak kurang seperti petani yang melihat yang hanya melihat tanaman pohon itu dari kejauhan. Sehingga tergesa-gesa menyelesaikan materi agar sesuai dengan jatah waktu yang ditentukan juga agar dapat melaksanakan tambahan kepanitiaan yang lain untuk tambahan saku tanpa mementingkan sentuhan dan perhatiannya yang sesungguhnya penting diambil kira dan diperhitungkan. Tetapi guru lebih ditekan dengan kelengkapan administrasi, kekurangan atau kelebihan jam untuk mencapai duapuluh empat hingga empat puluh jam mengajar akan akan lagi-lagi diterjemahkan ke dalam  tanda tangan dan recehan. Ruh-ruh guru seperti mengambang bagaikan dibawah tak diterima bumi  diatas tak diterima langit wujudnya seperti itu jua ketiadaanya walaupun ruh itu sebenarnya modal teragung dari guru itu sendiri.

(Tulisan ini didekasikan untuk Almarhum Ustadz H. Ali Syarkowi yang di dalam tulisan terkandung nasehat dan petunjuk beliau, semoga Alloh SWT selalu menyayangi beliau aamiin).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun