Mohon tunggu...
Herman Oesman
Herman Oesman Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Literasi Sosial

Penyuka kuliner lokal, pencinta laut dan pulau berpasir putih, serta belajar dari kehidupan masyarakat. Dapat dihubungi melalui email : hrmnsmn@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Plutokrasi dan Kekuasaan

16 Januari 2018   15:40 Diperbarui: 16 Januari 2018   16:13 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat

(sejauh satu sen) atas seluruh manusia"

(Hugh Dalziel Duncan, 1962/1997 : 13)

UANG merupakan raja, dan segala-galanya. Demikianlah berbagai ungkapan yang sering kita dengar, saksikan, dan mungkin juga kita lakukan sendiri. Segala urusan akan beres, bila angka-angka yang tercetak dalam lembaran kertas yang dibuat sedemikian rupa itu tersedia di depan mata.

Hugh Dalziel Duncan dalam buku kecilnya; "Sosiologi Uang" (1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, "barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia" (hal. 13). Ungkapan Duncan di atas, dipertegas oleh Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan.

Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang, atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang  jauh sebelum itu justeru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx. Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah "komunitas" (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi dan hak-hak secara empirik.

Tanpa sadar, hakikat hidup mulai dikalkulasi. Orang mulai menghitung nilai kemanusiaan melalui angka-angka. Sesuatu yang amat fatal bagi peradaban kemanusiaan. Dalam kawah candradimuka itulah, uang telah mulai menjadi penyangga tatanan sosial. Angka sekian ditambah deretan angka nol dalam lembaran kertas maupun tumpukan logam telah menyeret masyarakat dunia menuju kawasan yang demikian enigmatik. 

Lebih dari itu, melalui uang, manusia diseret hingga kehilangan pribadi (impersonalitas), menggapai roh obyektif atas subyektif. Bahkan Thorstein Veblen (1857-1929) menganalisis, penggunaan uang telah membangun sikap dan budaya tanding-menandingi (emulasi) yang tak sehat antara satu individu dengan individu yang lain. Tak berlebihan bila ada ungkapan; Cinta akan uang adalah akar segala kejahatan...

Dianalisis lebih jauh oleh Veblen, bahwa norma-norma selera yang berkaitan dengan uang jika tidak dikomunikasikan dengan baik, maka fungsi sosial yang benar, baik, dan indah tak dapat dipahami.

"Agama uang" --demikian ia disebut--- mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1925, saat Calvin Coolidge, Presiden Amerika ke-30 memberitahu warganya, "our business to business,"(urusan kita adalah bisnis). Dari sinilah, wabah dan virus "agama uang" mulai menjalar, yang saat ini perkembangannya demikian pesat dan menghantam dinding dan ruang realitas sosial kita. 

Mulai dari keluarga, kerabat hingga lingkup yang lebih luas. Wabah uang kini telah menjadi ukuran di dunia manapun. Membangun jejaring dan menganyam dominasi dan kekuasaan melalui uang. Di sudut kota New York misalnya, kekuasaan sosial semata-mata hanya kekuasaan uang. Nilai lebih secara sosial telah didasari oleh rekening bank yang gemuk, demikian diungkap Duncan.

Dalam bidang seni sastra, juga terjadi hal yang sama. Ketika F. Scott Fitzgerald (1896-1940) dalam novel yang ditulisnya tentang orang-orang kaya, ia menggambarkan kelompok the haveini dengan sosok yang memuat nafsu dan perasaan, melalui ungkapan misteri uang yang dapat mengimbas segala bentuk hubungan antar perorangan.

Pada wilayah politik, uang juga menjadi penentu sejauh mana kebijakan itu dikeluarkan berdasarkan deretan angka nol. Untuk memenangkan kompetisi dalam satu partai politik tidak lepas dari kalkulasi-kalkulasi angka, hingga menentukan hajat hidup rakyat, angka-angka tetap menjadi dewa. 

Bayangkan, bagaimana dari suara (milik rakyat) berubah menjadi angka, lalu menjelma menjadi kursi, dan akhirnya kursi kemudian menentukan berapa harga dari suara. Dalam Pilkada (untuk menyebut beberapa kasus di daerah-daerah), memegang kursi di legislatif adalah kalkulasi sejumlah angka-angka yang harus ditunaikan Sang Calon Kepala Daerah, untuk menuntaskan "mahar" dalam "perkawinan politiknya".

Tidak hanya itu, Anda sebagai orang yang akan bertarung menjadi salah satu calon kepala daerah, seberapa banyak "uang di kantong" dan itulah yang menentukan seberapa panjang deretan tim sukses yang akan mengawal Anda. Dengan "uang yang ada di kantong" Anda dapat mengendalikan tim sukses atau pendukung Anda. Merusak, memaki, memukul, dan sebagainya. 

"Uang yang ada di kantong" Anda akan menjadi benteng paling ampuh untuk menyihir orang-orang sekitar Anda. Kemudian Anda pun dilekatkan dengan simbol : "dermawan, baik hati, dan seterusnya."

Jadi jangan heran, jika berkaitan dengan uang orang tak segan menghalalkan segala cara. Dalam kenyataan sehari-hari, orang mengejar uang dengan saling jilat, siku dan penuh warna kekerasan, merupakan hal yang telah dianggap biasa-biasa saja. 

Kenyataan ini telah memberi isyarat, bahwa kita tengah mulai menyuburkan ciri-ciri dari sikap dan watak plutokrasi, yakni mereka yang memiliki modal/uang atau alat produksi untuk tujuan-tujuan pribadi. Inilah yang oleh Otto Fenichel (1897-1946) memberi argumentasi : "kita akan menemukan bahwa dorongan untuk memupuk kekayaan adalah bentuk khusus dari naluri kepemilikan yang dimungkinkan oleh fungsi sosial uang dalam sebuah masyarakat kapitalis".Ya, kapitalis adalah sesuatu yang di benci tapi dirindukan di tengah keterpurukan semua sendi kehidupan. Kita adalah kapitalis yang sok moralis.

Apa yang disinyalir Fenichel di atas boleh jadi benar, karena akhir-akhir ini, berbagai fasilitas maupun dana yang diperuntukkan bagi masyarakat kecil telah tertelan bulat-bulat oleh watak kapitalis-koruptif. Di mana-mana perilaku koruptif menyebarkan aroma busuk, didalamnya mereka bermain dengan para kapitalis secara halus. Atau pun banyak cara mengorupsi dana-dana publik melalui kebijakan-kebijakan yang sepihak, yang mengakomodir kepentingan-kepentingannya.

 Benarkah kita mulai bersikap dan bertindak seperti sang plutokrasi? Yang mengendalikan kekuasaan dengan kekayaan yang dimiliki, atau mungkin yang ditelikung? Dapatkah kita berharap lahir nilai kebaikan, kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran dengan cara-cara tidak elok? Menampilkan watak yang selalu ditutupi oleh perilaku yang menghalalkan segala cara. Demokrasi kita, masih dalam cengkeraman naluriah yang haus mengumpulkan kekayaan untuk sebuah kekuasaan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun