Mohon tunggu...
Herman Susilo
Herman Susilo Mohon Tunggu... Human Resources - Pegiat sosial yang menyukai dunia sumber daya manusia

Love being husband & father of three. Enjoying social works, human relations & strategic management

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pribumi, Wajah Lelah Pelintas Zaman

18 Oktober 2017   08:08 Diperbarui: 18 Oktober 2017   08:34 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kristopel Mangoli 74 tahun | dokumentasi Herman

Maskarena Langu sudah 92 tahun hidup di pulau Miangas. Pulau paling utara Indonesia berjarak 54 mil laut dari Filipina. Ia lahir 1925, tiga tahun sebelum pulau ini disahkan menjadi teritori Belanda oleh Pengadilan Mahkamah Internasional di Deen Haag. Saat itu pulau seluas 3,15 km2 menjadi rebutan tiga negara Amerika, Spanyol, dan Belanda. 

Saat belia ia tak tahu menahu urusan politik internasional. Hal yang ia ingat hanyalah banyak pelaut yang singgah di pulaunya. "Yang datang ke sini bukan cuma orang-orang Melong (Kepulauan Talaud, red) tapi juga orang Belanda," ungkapnya lirih. Perempuan sederhana ini tak banyak bicara. Ia baru saja kehilangan putra sulungnya, meninggal dunia karena sakit.

Kristopel Mangoli 74 tahun | dokumentasi Herman
Kristopel Mangoli 74 tahun | dokumentasi Herman
Lain Maskarena lain pula Kristopel Mangoli. Lelaki asli Miangas ini lahir dua tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya 1943. Orang tuanya turut gempita saat Soekarno memproklamirkan Indonesia merdeka di Jakarta. Di usia senjanya, ia lebih banyak diam. "Ayah saya sudah lama tidak bicara," ujar Anastasya Mangoli putri sulung yang mengurusinya.

Negara Hadir

Yakinlah ada banyak orang-orang seperti mereka di negeri ini. Tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote. Merekalah fakta sejarah. Merekalah wajah-wajah lelah pelintas zaman yang telah merasakan asam garam hidup di nusantara. Telah mengalami jatuh bangunnya bangsa. Tak terlintas sedikitpun pindah negara. "Saudara kakek saya pindah ke Filipina, tapi saya memilih Indonesia," terang Neli Loepa Sekretaris Kecamatan Khusus Miangas, Kabupaten Kepaluan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. 

Tim validasi Kemensos bersama Dinsos Kep. Talaud, Sekretaris Kecamatan, aparat Desa dan Dusun Pulau Miangas | doc. Herman
Tim validasi Kemensos bersama Dinsos Kep. Talaud, Sekretaris Kecamatan, aparat Desa dan Dusun Pulau Miangas | doc. Herman
Jadi sangat tepat jika pemerintah Indonesia memprioritaskan mereka. Negara hadir untuk mereka, pribumi yang tak terpisahkan dari bumi Indonesia. Tak terpisahkan dari udara yang dihirup sejak terlahir ke dunia, dari tanah yang dipijak sejak belajar melangkah, tak terpisahkan dari air yang diminum sejak merengek di hari kelahirannya. 

Mereka tinggal di Indonesia bukan baru kemarin sore, bukan pula mencari keuntungan sesaat. Merekalah anak-anak bangsa yang berhak didahulukan menikmati kekayaan alam negeri ini, tanpa memandang suku, agama, ras, ataupun golongan. 

Mari pegang erat kearifan lokal Indonesia yang telah temurun ratusan tahun, "Dimana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung."

---

Catatan kecil perjalanan validasi calon penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial RI di Kecamatan Khusus Miangas, Kab. Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun