Maskarena Langu sudah 92 tahun hidup di pulau Miangas. Pulau paling utara Indonesia berjarak 54 mil laut dari Filipina. Ia lahir 1925, tiga tahun sebelum pulau ini disahkan menjadi teritori Belanda oleh Pengadilan Mahkamah Internasional di Deen Haag. Saat itu pulau seluas 3,15 km2 menjadi rebutan tiga negara Amerika, Spanyol, dan Belanda.Â
Saat belia ia tak tahu menahu urusan politik internasional. Hal yang ia ingat hanyalah banyak pelaut yang singgah di pulaunya. "Yang datang ke sini bukan cuma orang-orang Melong (Kepulauan Talaud, red) tapi juga orang Belanda," ungkapnya lirih. Perempuan sederhana ini tak banyak bicara. Ia baru saja kehilangan putra sulungnya, meninggal dunia karena sakit.
Negara Hadir
Yakinlah ada banyak orang-orang seperti mereka di negeri ini. Tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote. Merekalah fakta sejarah. Merekalah wajah-wajah lelah pelintas zaman yang telah merasakan asam garam hidup di nusantara. Telah mengalami jatuh bangunnya bangsa. Tak terlintas sedikitpun pindah negara. "Saudara kakek saya pindah ke Filipina, tapi saya memilih Indonesia," terang Neli Loepa Sekretaris Kecamatan Khusus Miangas, Kabupaten Kepaluan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.Â
Mereka tinggal di Indonesia bukan baru kemarin sore, bukan pula mencari keuntungan sesaat. Merekalah anak-anak bangsa yang berhak didahulukan menikmati kekayaan alam negeri ini, tanpa memandang suku, agama, ras, ataupun golongan.Â
Mari pegang erat kearifan lokal Indonesia yang telah temurun ratusan tahun, "Dimana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung."
---
Catatan kecil perjalanan validasi calon penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial RI di Kecamatan Khusus Miangas, Kab. Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H