Istighfar, Taubat, Memohon Ampun kepada-Nya, memang mudah. Karena Dia, Allah, memang Maha Pengampun, dan Dia pun telah berjanji akan memberikan pengampunan, kepada siapa pun yang mohon pengampunan. Tapi, benarkah semudah itu? Benar, memang semudah itu; bagi Allah, Yang Maha Kuasa. Tapi, siapa bilang mudah juga bagi kita?
Mari kita lihat diri sendiri, seberapa sering kita ber-istighfar selepas shalat. Seberapa rutin. Dan seberapa banyak kita membasahi bibir kita dengan ucapan ringan tersebut.Â
Di luar shalat, saat kita berjalan ke kantor, saat kita berdiri di lift, saat kita berjalan ke warung, saat kita jeda kerja dan merokok, saat terduduk oleh sebuah keresahan, oleh kekecewaan, oleh kekhawatiran, dan seterusnya dan seterusnya. Total jenderal; seberapa banyak kita menggumamkan lafadz mulia itu dalam sehari semalam.
Menurut dugaan saya, kita belum cukup sering dan banyak melakukannya. Pada umumnya, kita masih suka menelantarkannya.
[-] "Guru, aku menyerah, Guru; aku selalu terlalaikan kembali, setelah melakukannya mungkin selama dua atau tiga hari. Atau, paling lama, satu minggu; sesudah itu, lupa dan malas lagi untuk melakukannya," suatu ketika aku curhat, karena meski aku mencoba mulai men-dawam-kan  dzikir Istighfar ini, tapi, selalu terputus di tengah jalan.
[+] "Itu karena engkau selalu tergesa-gesa. Ingin dalam sekejab berhasil. Tidak bisa bersabar," Guruku menegurku, dengan suara pedas, hampir seperti ketus.
Dalam banyak kesempatan, ketika Guru menceritakan kisah-kisah Para Guru Agung, beliau memang sering menceritakan betapa Para Guru Agung itu pun mencapai maqam-nya juga dengan usaha muhasabah-mujahadah bertahun-tahun.Â
Bahwa bahkan Para Guru Agung itu pun, baru dapat merasakan kelezatan ber-dzikir, beribadah, setelah bertahun-tahun ajeg, konsisten, melakukannya. Dan aku melupakan itu untuk diriku sendiri; padahal, aku begitu miskin ilmu, dan telah begitu jauh berkecimpung di dalam "remang-remang" kehidupan ini.
[+]Â "Lebih parah dari itu, engkau juga selalu ingin mencapai banyak hal sekaligus".
Itu memang typical saya banged. Belum ajeg-konsisten dengan Istighfar, saya sudah pengen juga memperbanyak dzikir asmaul husna, Ya Rahman Ya Rahim. Ini belum selesai, juga sudah ingin memperbanyak shalawat. Ini belum ajeg, sudah ingin juga merutinkan khatam al-Quran setiap tiga hari. Pengen juga merutinkan puluhan raka'at shalat-shalat Sunnat.
Semuanya adalah amal ibadah dan dzikir-dzikir yang memang harus kita dawamkan, pada akhirnya. Semuanya baik. Semuanya adalah sunnah. Tapi, dengan cara tergesa-gesa itu, dengan sikap tidak sabar untuk menekuni prosesnya, setahap demi setahap, memang justru hasil akhirnya bisa tidak maksimal, kalau pun tidak justru sering gagal, dan terbengkalai. Apalagi di saat-saat awal memulai perjalanan ini, di saat-saat hati masih berlepotan dengan kerak hitam dosa.
Kegagalan itu, mungkin bukan hanya karena tidak fokus, melainkan juga karena di dalamnya terkandung sikap tamak, dan tidak sabar itu, dimana keduanya adalah kualitas yang memang pada dirinya sudah tidak sesuai dengan perjalanan spiritual, seperti halnya api tidak sesuai bagi air.
Saya berpikir tentang proyek, karena saya terbiasa bekerja di proyek. Maksudnya, saya terpikir untuk memperlakukan issue ini sebagai proyek. Proyek 40 Hari Penuh Istighfar, misalnya. Atau, 40 Day Cleansing Project. Mindset dan sikap batin menghadapi proyek, biasanya, berbeda; ada keseriusan lebih disini, ada fokus, ada rencana, ada control, ada evaluasi, ada mitigation action, dan seterusnya. Apalagi ini proyek untuk merampungkan hidup kita sendiri, yang, katakanlah, masih berantakan, secara spiritual.
Rencananya bisa bermacam-macam; setiap orang memiliki kecenderungannya masing-masing. Mungkin dimulai dengan membaca Istighfar 1000 kali sehabis shalat Maghrib. Atau, tidak dalam jumlah, tapi dalam waktu; sejak ba'dha Maghrib hingga Isya'. Mungkin juga nanti ditambah, sejumlah tertentu yang lain, 500 kali, atau, setengah jam sebelum tidur, hingga terlelap.Â