Mohon tunggu...
Herman Hidayat
Herman Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Peminat Kajian-Kajian Filsafat dan Spiritualitas. Penikmat Musik Blues dan Jazz. Menyukai Yoga dan Tai Chi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Al Hikam, Mengingatkan Diri

17 Mei 2018   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2018   08:00 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hikmah #1 : Salah satu Tanda Bergantung pada Amal adalah Berkurangnya Harapan tatkala Gagal. Berdo'alah, untuk apapun; hal-hal besar, tapi juga segala hal-hal kecil apapun. Untuk hal-hal yang sangat engkau inginkan setengah mati, atau sekedar keinginan-keinginan samar. Berdo'alah, untuk menegaskan keyakinan bahwa segala sesuatunya adalah dari Allah, dan bukan dari dirimu sendiri.

Berdo'alah, saat-saat engkau Yakin kepada-Nya, tapi lebih-lebih, berdo'alah saat-saat engkau hampir kehilangan Keyakinan pada-Nya. Berdo'alah, saat-saat segala sesuatunya berjalan serba lancar dan mudah, tapi lebih-lebih, berdo'alah di saat segala sesuatunya serba buram, sulit dan terasa berat bagimu.

Berdo'alah, karena kebenarannya, segala sesuatunya memang hanya karena Karunia-Nya, dan tidak sedikitpun karena upaya-upaya dirimu sendiri yang serba kerdil dan fana ini.

Bahkan, misalnya engkau tengah terjebak pesimisme intelektual, sehingga engkau sebenarnya sedang tidak yakin dengan manfaat Do'a, atau bahkan sebaliknya, engkau tengah terjebak keangkuhan intelektual, sehingga engkau justru sangat yakin bahwa segala sesuatunya adalah karena upaya-upaya manusiawimu sendiri; tetaplah ber-Do'a. Apa salahnya meluangkan waktu 1 atau 2 menit ber-Do'a, sekedar seperti ber-bisik-bisik pada diri sendiri; tidak menghabiskan waktu, dan juga tidak mengganggu siapa pun juga. Ber-Do'a sajalah; untuk apapun.

Ajaran manteg niat dalam ibadah-ibadah yang hendak kita lakukan, sebenarnya adalah juga tepat untuk apapun yang hendak kita lakukan. Dan manteg niat, pada hakekatnya adalah Do'a yang kita panjatkan, untuk keberhasilan apapun yang kita lakukan. Amalan mengucapkan Bismillah di awal setiap tindakan yang hendak kita lakukan, juga adalah untuk memperkokoh niat, dan sekaligus sebuah Do'a.

Inti dari Do'a adalah penegasan bahwa Dia adalah Allah, dan bahwa engkau, aku, adalah hambanya. Inti Do'a sungguh bukan pada mobil yang engkau minta, atau rasa sakit yang hendak engkau hilangkan.

Inti Do'a adalah hadir meng-Hadap-Nya, dan ber-Dialog dengan-Nya. Berbincang dengan-Nya. Menghaturkan permohonan, atau menghaturkan Syukur, atau Bertanya Mohon Bimbingan, atau sekedar Curhat dan bercerita. Dan bukankah, dalam setiap hubungan, apa pun itu, hubungan dapat ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, memasuki wilayah akrab, karib, selalu dimulai dengan memperbanyak frekwensi Bincang-Bincang? Saling Berbincang, lalu Saling Percaya, lalu semakin akrab dan akrab, menjadi Sahabat dan seterusnya?

Conversation -- Friendship -- Communion with God. Insya Allah.

***

Bahkan, sangat boleh jadi, Allah pun selalu memanggil-manggil kita, untuk menghadap-Nya, untuk berbincang dengan-Nya dan ber-Do'a kepada-Nya;  melalui kehilangan-kehilangan kecil yang kita alami, yang mungkin karena tidak selalu kita hiraukan, lalu Dia panggil-panggil lagi kita dengan lebih keras, dengan kehilangan-kehilangan yang lebih besar dan besar. Kehilangan milik, kehilangan kesempatan, kehilangan kegembiraan hidup, dan seterusnya dan seterusnya.

Allah selalu menunggu kita untuk menyapa-Nya, bahkan melalui permohonan-permohonan kecil sekalipun; nyeri sendi yang ingin kita hilangkan, swing golf yang kita harapkan indah dan sempurna, atau sekedar tidur lelap dan nyenyak yang kita dambakan.

***

Dan, Do'a, alangkah mudah: tinggal menundukkan kepala, mengangkat dan mengatupkan tangan, dan menghadirkan hati penuh harap. Dan bahkan kewajiban-kewajiban yang harus kita lakukan-pun: alangkah sederhana, dan mudah. Hanya Sholat, Dzikir, Sedekah, Puasa dan berbuat baik pada semua orang, khususnya ibunda sendiri.

Sedangkan balasan yang engkau mintakan dari Allah: hati yang penuh cinta dari wanita yang menyenangkan hatimu, kekayaan yang tiada habisnya, pangkat yang begitu tinggi: alangkah tidak mudah jika engkau harus lakukan sendirian. Bahkan alangkah tidak mungkin.

***

Do'a, dapat dilakukan kapan saja, dan bisa dikatakan dimana saja; seenakmu, sesempatmu. Benar-benar mudah. Tapi, mengusahakannya secara khusus, di tempat-tempat khusus, pada waktu-waktu khusus, dengan cara-cara khusus; sungguh lebih menunjukkan kesungguhanmu, sungguh menunjukkan rasa hormatmu. Layaknya seorang hamba, kepada Tuhannya.

Tempat seperti Baitullah, Masjid, Majelis Ilmu dan semacamnya; adalah tempat-tempat khusus, yang Allah sudah janjikan akan mustajabah berdo'a di dalamnya. Waktu seperti sepertiga malam sesudah Tahajjud, waktu sesudah matahari terbit sesudah Dhuha, saat turun hujan, sesudah mendengar adzan, dan banyak lagi; adalah waktu yang Dia janjikan akan mustajabah juga. Cara atau Laku khusus seperti puasa, entah Senin-Kamis, atau sunnah-sunnah lain, adalah Cara atau Laku khusus yang juga mustajabah untuk do'a. Bahkan praktik mohon di-do'a-kan orang lain, seperti Ibunda sendiri, atau para Alim, atau orang yang sedang berziarah ke Makkah dalam Haji atau Umroh.

Boleh jadi bukan karena kekhususan tempat, atau waktu, atau cara atau Laku itu sendiri sebenarnya; Dia menjadikan semua itu khusus untuk Do'a, sekedar agar Dia dapat melihat kesungguhan dan rasa hormat kita dalam mengajukan Do'a.

Dan Kita sungguh berharap; dengan kesungguhan dan rasa hormat kita itu, Dia akan berkenan Ridha atas upaya-upaya kita itu.

***

Do'a, segera sesudah dipanjatkan seharusnya menjadi ringan. Sebab, kita sudah mintakan Tangan Yang Maha Kuat untuk mengurusnya. Dan yang sesuai dengan janji-Nya sendiri, Dia akan menjawab semua Do'a.

Untuk selanjutnya, kita tinggal mengurusi hal-hal yg diwajibkan-Nya pada kita untuk kita urusi.

Maka, mengabaikan urusan-urusan kita sendiri, dan justru sok sibuk mau mengurusi hal-hal yang Dia sendiri Janji akan menguruskannya untuk kita, apatah lagi dengan sekedar mengkhawatirkannya sepanjang waktu: alangkah bodohnya?

***

Do'a memang bisa berupa apapun, berat atau ringan, besar atau kecil: tapi mungkin alangkah baiknya jika meliputi kepentingan ukhrawimu juga, disamping hanya kepentingan duniawimu saja. Dunia dan akhirat sekaligus. Fisikal dan Ruhaniah.

Pelan-pelan, mudah-mudahan: Ruhaniahmu, Akhiratmu, Ukhrawimu, akan semakin menjadi prioritas. Dan Fisikalmu, Duniawimu: akan menjadi semakin ringan bagimu. Insya Allah.

***

Mulailah semua Do'a-mu itu dengan Istighfar. Pertama-tama, dan yang Utama; mintalah ampunan atas dosa-dosa dan khilaf-mu, sebelum kemudian engkau mohon pertolongan untuk urusan-urusan duniawi-mu. Bukan-kah Istighfar adalah Do'a, dan mungkin justru Do'a yang terpenting, yang Pertama dan Utama?

Jika suatu ketika ber-Do'a lalu terasa berat, sangat berat, seperti tanpa harapan, kehilangan keyakinan, atau juga sekedar kesulitan meng-"hadir"-kan hati ke hadapan-Nya; perbanyaklah Istighfar. Seratus kali. Mungkin Seribu kali. Insya Allah, hatimu akan kembali hadir ke dalam Do'a. Dengan ini, engkau tidak lah menyia-nyiakan waktu-waktu ber-Do'a-mu. Mungkin justru telah memanfaatkan dengan sangat baik.

Rutinkan, dawam-kan, dzikir Istighfar, mungkin minimal 1000x sehari, dalam berbagai kesempatan; selesai Shalat, sebelum Shalat, ketika sedang berbaring, sedang berjalan dan ketika sedang apapun, selagi memungkinkan. Ketika sedang gundah, ketika sedang gusar hati, ketika sedang gembira, ketika sedang penuh harap.

***

Setiap kali kita dihadapkan pada kesulitan, merasakan hidupmu menjadi seperti sangat berat, atau sekedar tiba-tiba kehilangan kegembiraan dan keringanan hati; Istighfar-lah. Perbanyak Istighfar.

Ketika ada yang sangat engkau hasratkan; ber-Do'a-lah. Atau, sekedar ber-Istighfar-lah. Mungkin justru Istighfar adalah Do'a yang terbaik bagimu. Karena, setiap kali engkau menghasratkan sesuatu, apalagi begitu sungguh-sungguh engkau hasratkan; sesungguhnya Allah jua-lah yang menanamkan hasrat itu di dalam hatimu. Dan ketika Allah telah berkenan menanamkan hasrat itu, sesungguhnyalah Allah memang berkenan meng-anugrah-kannya kepadamu; mungkin hanya dan hanya karena dosa-dosamulah maka semua itu masih tertahan.

Sehingga, hanya dengan ber-Istighfar, bahkan misalnya engkau tidak sempat memohonkan hasratmu secara khusus, Insya Allah, Allah akan mengabulkannya untukmu. Dan bukankah Allah, Dia Maha Tahu akan segala Isi Hati, yang tersamar sekali pun?

***

Dan, Do'a juga termasuk, atau bahkan sebenarnya yang terpenting, adalah men-Do'-kan orang-orang lain, khususnya orang-orang yang kita cintai. Karena Insya Allah, Do'a yang ikhlas untuk orang-orang yang kita cintai ini, tanpa diketahui oleh mereka, dan oleh karenanya Insya Allah Ikhlas, akan Mustajabah.

Dan Allah akan juga meng-Anugrah-i kita dengan apa-apa yang kita Do'a-kan itu. Insya Allah.

***

Ya Allah, Puji Syukur Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau selalu berkenan meng-Anugrahi hamba tekad, kesempatan dan kekuatan untuk menghaturkan Do'a-Do'a Permohonan kepada-Mu. Ya Allah, Puji Syukur Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau selalu berkenan Menerima dan Mengabulkan Do'a Permohonan hamba.  Ya Allah, Puji Syukur Alhamdulillah, Ya Allah, Engkau selalu berkenan meng-Anugrahi hamba tekad, kesempatan dan kekuatan untuk menghaturkan rasa Syukur atas Anugrah-Anugrah Engkau kepada hamba.

Ya Allah, Kabulkan Do'a Permohonan hamba ini. Aamiinnn Ya Rab.

Hikmah #2 :Keinginan untuk Lepas dari Urusan Duniawi, padahal Allah membekalimu dengan Sarana Penghidupan, adalah Syahwat yang Samar. Sedangkan Keinginanmu untuk Mendapatkan Sarana Penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi, adalah suatu Kemunduran dari Cita-Cita Luhur. 

Tapi, aku tidak tahu jenis kehidupan dan penghidupan seperti apa yang memungkinkan seseorang bisa tidak usah bekerja mencari uang, mencari nafkah, dan dapat menyerahkan keseluruhan waktu dan hidupnya untuk beribadah. Setidaknya, kebanyakan orang seperti aku, perlu menghabiskan waktu sedikitnya 10 jam sehari dan 5 hari seminggu di tempat kerja. Hanya toh ini semua tidak usah disesali juga; karena tempat kerja dan kerja itu sendiri pun masih juga dapat menjadi ladang amal, ladang ibadah.

Sekedar tersenyum terhadap teman kerja, menyingkarkan duri dari jalan ketika kita berangkat kerja, membantu meringankan teman kerja, yang sedang kesulitan atau tidak, mengajarkan sesuatu, menyebarkan cinta dan kegembiraan; semua itu, kata siapa bukan amal dan bukan ibadah? Adapun dengan uang yang kita peroleh dari kerja; kita dapat berbagi dengan fakir miskin, yatim piatu, janda-janda, orang-orang tua sepuh yang sudah renta tulangnya untuk mencari nafkah. Bahkan memberi nafkah untuk keluarga; itu pun terhitung ibadah di hadapan-Nya.

Sangat beragam dan banyak amal-ibadah yang dapat kita lakukan di tempat kerja dan sambil bekerja; meski tentu saja terbatas, dan sedikit banyak tidak memberi kesempatan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus, yang memang memerlukan waktu dan perhatian khusus. Tapi, kalau Allah telah dan masih menempatkan kita pada situasi dan kondisi dengan keharusan untuk bekerja mencari nafkah; maka ini adalah tempat terbaik bagi kita saat ini. Inilah maqam kita saat ini.

Menginginkan maqam selain ini, berarti tidak bersyukur atas Anugrah-Nya, padahal ini pastilah yang terbaik bagi kita sendiri. Menginginkan lepas dari Urusan Duniawi ini, dan menginginkan sepenuhnya Beribadah; bisa saja sekedar angan-angan kosong, tidak realistis, dan lebih ke sekedar keinginan untuk melarikan diri, ntah dari kemalasan bekerja, atau dari tekanan-tekanan tertentu di tempat kerja. Atau, bahkan boleh jadi sekedar berasal dari dorongan Syahwat Yang Samar, seperti misalnya menginginkan keharuman nama, atau setidaknya menginginkan diri seperti orang lain, dan mungkin sekedar karena iri dan cemburu.

Sedangkan, bila Allah telah melepaskanmu dari keharusan untuk mencari nafkah, meski aku sendiri tidak tahu seperti apa maqam itu, lalu engkau masih juga menginginkan urusan duniawi itu; maka itu adalah tanda-tanda kemunduranmu dari harkat-martabatmu yang Luhur.

***

Mungkin maqam kita memang masih pada maqam untuk bersibuk dengan Urusan Duniawi ini, mencari Nafkah untuk diri dan keluarga; tapi meski tidak mutlak, sedikit banyak, menurutku, bisa juga kita mencoba mencicipi kenikmatan ber-khalwat, beribadah secara intensif ini, disana-sini. Kita dapat mencoba memaknai maqam tidak harus sebagai maqam permanen, jangka panjang, melainkan dapat saja sekedar maqam sementara, kesempatan-kesempatan pendek.

Misalkan saja, engkau saat ini tengah dianugrahi keringanan hati, tidak disibukkan hatimu oleh urusan-urusan duniawi, mungkin saja saat itu engkau tengah dianugrahi Allah kesempatan mencicipi maqam "sementara" Keterlepasan dari Urusan Duniawi. Maka mungkin saat itulah engkau dapat meningkatkan ibadah-ibadahmu secara lebih intensif, dapat lebih fokus mengurusi hal-hal ukhrawimu, akhiratmu dan batiniahmu; tanpa terjebak kategori Syahwat Yang Samar. Meski mungkin itu hanya dalam satu dua hari. Atau satu dua minggu. Yang jika sebaliknya, dalam kondisi itu; engkau masih juga tetap menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi-mu, seolah engkau akan hidup selamanya, maka mungkin engkau memang tengah terjebak dalam Kemunduran Batiniah. Ke-Alpa-an Batin.

Disela-sela jadwal Kerja harian, mingguan dan tahunan; engkau juga memiliki weekend rutin, kadang long weekend, Liburan Hari Besar Nasional atau Agama Tertentu, Cuti Tahunan, dan bahkan ada kalanya Cuti Besar dalam 3 Tahunan, misalnya. Semua ini tentulah Anugrah-Nya juga; dan tentu dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan-kesempatan pendek untuk meng-khusus-kan diri ber-ibadah, membenahi hal-hal batiniah dan menyiapkan ukhrawimu, akhiratmu.

Dan last but not least; engkau akan pensiun pada saatnya, dengan kecukupan bekal yang pantas untuk tahun-tahun mendatangmu, tidak-kah itu berarti Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi-mu.

Kalau bukan itu saat-mu; lalu kapan lagi?

***

Sepertinya cukup pelik untuk mengetahui kita berada di maqam apa sebenarnya. Mungkin itu rahasia Allah juga. Maka, menurutku, yang penting bagi kita saat ini adalah bagaimana caranya kita terhindar dari Syahwat Yang Samar ini, atau sebaliknya, terhindar dari Jebakan Kemunduran Batin ini, pada maqam apa pun kita mungkin berada saat ini.

Dan satu-satunya cara, atau cara sederhana, meski aku yakin tidak mudah, yang aku pikirkan saat ini adalah dengan Rela, Ridha dan Ikhlas Menerima Apapun anugerah-Nya. Untuk apapun yang engkau miliki, untuk apapun yang engkau hadapi, untuk apapun yang sedang engkau kerjakan, untuk di Level Spiritual dan/atau Duniawi manapun engkau mungkin berada saat ini, Pertama-tama dan yang Utama, engkau hanya perlu Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur. Allah Maha Tahu dengan apa yang Terbaik untukmu, dan yang Terbaik untuk Kemanusiaan secara Keseluruhan.

***

Atau, adakah engkau merasa bahwa menerima segalanya Apa Adanya, sedikit bertentangan bahkan dengan ajaran untuk ber-Do'a, menurutmu? Ah, marilah engkau mencoba untuk tidak mempertentangkannya secara intelektual, apalagi dengan begitu serta-merta. Cobalah dulu untuk melakukannya, menjalankannya.

Lihatlah hasilnya; mungkin engkau akan menemukan sesuatu yang engkau tidak ketahui secara intelektual, tapi lalu akan engkau kenali dalam pengalaman. Bahwa Do'a dan Sikap Rela, Ridha, Ikhlas & Syukur, keduanya itu, tidaklah bertentangan. Bahwa bahkan, keduanya adalah Pasangan. Satu Pasang yang mungkin justru harus dijalankan bersamaan. Tapi, biarlah engkau tidak mengetahuinya secara intelektual, tapi biarlah engkau mengenalinya dalam pengamalan dan pengalaman.

***

Setiap Tindakan kita, betapapun sederhananya ia, bahkan sesederhana mengayunkan stick golf, atau bahkan merebahkan diri untuk tidur, adalah sebuah Tindakan Penciptaan. Dari Ketiadaan kita menciptakan Sesuatu menjadi Ada.

Maka, di dalam setiap Tindakan, selalu ada tempat untuk Do'a. Di-Tekad-kan dengan Niat, di-Kuat-kan dengan Do'a; harapan agar yang akan di-Laku-kan Berhasil, Berkah dan Mengandung Kebaikan. Lalu, di-Ujung akhir Tindakan, selalu juga terdapat tempat untuk Rela, Ridha, Ikhlas, Syukur; untuk apapun Keadaan dan/atau Hasil dari Tindakan. Apakah Sukses atau Gagal, apakah Baik atau Buruk, apakah Menyenangkan atau Menyakitkan. Semua itu, apapun, selalu dapat menjadi lahan untuk Rela, Ridha, Ikhlas dan Syukur. Maka, Do'a dan Syukur (termasuk Rela, Ridha, Ikhlas), keduanya itu, kata siapa bukan Pasangan?

Bahkan Pasangan yang Selalu Saling Berkelit-Kelindan. Engkau ber-Syukur telah selalu di-anugrahi tekad, kesempatan dan kekuatan untuk ber-Do'a. Dan, engkau juga selalu ber-Doa mohon anugrah-Nya untuk menjadi hamba yang senantia Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur. Engkau juga senantiasa ber-Doa mohon anugrah-Nya untuk selalu menjadi hamba yang senantiasa ber-Doa. Dan engkau juga selalu ber-Syukur bahwa engkau telah Allah anugrahi menjadi hamba yang senantiasa ingat untuk Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur.

Lihat, betapa semuanya adalah satu saja; berbincang dengan Allah. Bersahabat dengan Allah. Dari-Nya, dan kembali kepada-Nya.

***

Sedang bila engkau bertanya-tanya, bagaimana jika aku masih harus membesarkan tiga anak yang masih kecil-kecil; maka, ketika hatimu masih dipenuhi oleh urusan-urusan itu, artinya engkau memang masih harus menyelesaikan urusan-urusan duniawi-mu itu.

Namun, ditengah-tengah urusan-urusan duniawimu itu sekali pun, jika lalu masih engkau dapati saat-saat pendek, satu atau dua jam, satu atau dua hari, dimana hatimu dapat menjadi tenang, tidak bergolak dengan sibuk duniawimu; mungkin itulah waktumu untuk sejenak membenahi akhiratmu, dan bukan tergolong Syahwat Yang Samar.

Hikmah #3 : Menggebunya Semangat Tak Akan Mampu Menerobos Benteng Takdir. Menggebunya semangat; dalam Do'a atau dalam usaha-usaha manusiawi yang pantas, hanyalah sekedar menegaskan bahwa kita-lah hamba. Bahwa kita adalah manusia, dan bahwa kita adalah hamba. Hanya sebisanya ber-Do'a dan ber-Upaya, selagi masih ber-kesempatan dan kuasa melakukannya, dan semua itu pun adalah anugrah-Nya pula. Sedangkan hasil akhirnya, tentu saja itu adalah kehendak-Nya. Karena, apa kah di dunia ini yang bukan karena kehendak-Nya?

Sebelum engkau keburu menilai negatif secara intelektual dengan sebutan "fatalistik" dan sejenisnya: baiklah engkau coba dulu merasakannya dalam laku dan pengalaman. Sesudah selesai dengan semua usaha dan do'amu: lalu masukilah state Ridha, rela, pasrah dan ikhlas ini, dengan berbisik "Berlakukah Semua Kehendak-Mu, ya Allah". Lalu lihatlah bagaimana tanggapan hatimu. Respons batiniahmu.

Tapi anyway: Semua ini memang bukan konsumsi intelektual. Ini justru untuk mendidik diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun