"Keinginan untuk Lepas dari Urusan Duniawi, padahal Allah membekalimu dengan Sarana Penghidupan, adalah Syahwat yang Samar. Sedangkan Keinginanmu untuk Mendapatkan Sarana Penghidupan, padahal Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi, adalah suatu Kemunduran dari Cita-Cita Luhur" (Al Hikam, Ibn 'Atha'illah). Tapi, aku tidak tahu jenis kehidupan dan penghidupan seperti apa yang memungkinkan seseorang bisa tidak usah bekerja mencari uang, mencari nafkah, dan dapat menyerahkan keseluruhan waktu dan hidupnya untuk beribadah. Setidaknya, kebanyakan orang seperti aku, perlu menghabiskan waktu sedikitnya 10 jam sehari dan 5 hari seminggu di tempat kerja. Hanya toh ini semua tidak usah disesali juga; karena tempat kerja dan kerja itu sendiri pun masih juga dapat menjadi ladang amal, ladang ibadah.
Sekedar tersenyum terhadap teman kerja, menyingkarkan duri dari jalan ketika kita berangkat kerja, membantu meringankan teman kerja, yang sedang kesulitan atau tidak, mengajarkan sesuatu, menyebarkan cinta dan kegembiraan; semua itu, kata siapa bukan amal dan bukan ibadah? Adapun dengan uang yang kita peroleh dari kerja; kita dapat berbagi dengan fakir miskin, yatim piatu, janda-janda, orang-orang tua sepuh yang sudah renta tulangnya untuk mencari nafkah. Bahkan memberi nafkah untuk keluarga; itu pun terhitung ibadah di hadapan-Nya.
Sangat beragam dan banyak amal-ibadah yang dapat kita lakukan di tempat kerja dan sambil bekerja; meski tentu saja terbatas, dan sedikit banyak tidak memberi kesempatan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus, yang memang memerlukan waktu dan perhatian khusus. Tapi, kalau Allah telah dan masih menempatkan kita pada situasi dan kondisi dengan keharusan untuk bekerja mencari nafkah; maka ini adalah tempat terbaik bagi kita saat ini. Inilah maqam kita saat ini.
Menginginkan maqam selain ini, berarti tidak bersyukur atas Anugrah-Nya, padahal ini pastilah yang terbaik bagi kita sendiri. Menginginkan lepas dari Urusan Duniawi ini, dan menginginkan sepenuhnya Beribadah; bisa saja sekedar angan-angan kosong, tidak realistis, dan lebih ke sekedar keinginan untuk melarikan diri, ntah dari kemalasan bekerja, atau dari tekanan-tekanan tertentu di tempat kerja. Atau, bahkan boleh jadi sekedar berasal dari dorongan Syahwat Yang Samar, seperti misalnya menginginkan keharuman nama, atau setidaknya menginginkan diri seperti orang lain, dan mungkin sekedar karena iri dan cemburu.
Sedangkan, bila Allah telah melepaskanmu dari keharusan untuk mencari nafkah, meski aku sendiri tidak tahu seperti apa maqam itu, lalu engkau masih juga menginginkan urusan duniawi itu; maka itu adalah tanda-tanda kemunduranmu dari harkat-martabatmu yang Luhur.
***
Mungkin maqam kita memang masih pada maqam untuk bersibuk dengan Urusan Duniawi ini, mencari Nafkah untuk diri dan keluarga; tapi meski tidak mutlak, sedikit banyak, menurutku, bisa juga kita mencoba mencicipi kenikmatan ber-khalwat, beribadah secara intensif ini, disana-sini. Kita dapat mencoba memaknai maqam tidak harus sebagai maqam permanen, jangka panjang, melainkan dapat saja sekedar maqam sementara, kesempatan-kesempatan pendek.
Misalkan saja, engkau saat ini tengah dianugrahi keringanan hati, tidak disibukkan hatimu oleh urusan-urusan duniawi, mungkin saja saat itu engkau tengah dianugrahi Allah kesempatan mencicipi maqam "sementara" Keterlepasan dari Urusan Duniawi. Maka mungkin saat itulah engkau dapat meningkatkan ibadah-ibadahmu secara lebih intensif, dapat lebih fokus mengurusi hal-hal ukhrawimu, akhiratmu dan batiniahmu; tanpa terjebak kategori Syahwat Yang Samar. Meski mungkin itu hanya dalam satu dua hari. Atau satu dua minggu. Yang jika sebaliknya, dalam kondisi itu; engkau masih juga tetap menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi-mu, seolah engkau akan hidup selamanya, maka mungkin engkau memang tengah terjebak dalam Kemunduran Batiniah. Ke-Alpa-an Batin.
Disela-sela jadwal Kerja harian, mingguan dan tahunan; engkau juga memiliki weekend rutin, kadang long weekend, Liburan Hari Besar Nasional atau Agama Tertentu, Cuti Tahunan, dan bahkan ada kalanya Cuti Besar dalam 3 Tahunan, misalnya. Semua ini tentulah Anugrah-Nya juga; dan tentu dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan-kesempatan pendek untuk meng-khusus-kan diri ber-ibadah, membenahi hal-hal batiniah dan menyiapkan ukhrawimu, akhiratmu.
Dan last but not least; engkau akan pensiun pada saatnya, dengan kecukupan bekal yang pantas untuk tahun-tahun mendatangmu, tidak-kah itu berarti Allah telah melepaskanmu dari Urusan Duniawi-mu.
Kalau bukan itu saat-mu; lalu kapan lagi?
***
Sepertinya cukup pelik untuk mengetahui kita berada di maqam apa sebenarnya. Mungkin itu rahasia Allah juga. Maka, menurutku, yang penting bagi kita saat ini adalah bagaimana caranya kita terhindar dari Syahwat Yang Samar ini, atau sebaliknya, terhindar dari Jebakan Kemunduran Batin ini, pada maqam apa pun kita mungkin berada saat ini.
Dan satu-satunya cara, atau cara sederhana, meski aku yakin tidak mudah, yang aku pikirkan saat ini adalah dengan Rela, Ridha dan Ikhlas Menerima Apapun anugerah-Nya. Untuk apapun yang engkau miliki, untuk apapun yang engkau hadapi, untuk apapun yang sedang engkau kerjakan, untuk di Level Spiritual dan/atau Duniawi manapun engkau mungkin berada saat ini, Pertama-tama dan yang Utama, engkau hanya perlu Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur. Allah Maha Tahu dengan apa yang Terbaik untukmu, dan yang Terbaik untuk Kemanusiaan secara Keseluruhan.
***
Atau, adakah engkau merasa bahwa menerima segalanya Apa Adanya, sedikit bertentangan bahkan dengan ajaran untuk ber-Do'a, menurutmu? Ah, marilah engkau mencoba untuk tidak mempertentangkannya secara intelektual, apalagi dengan begitu serta-merta. Cobalah dulu untuk melakukannya, menjalankannya.
Lihatlah hasilnya; mungkin engkau akan menemukan sesuatu yang engkau tidak ketahui secara intelektual, tapi lalu akan engkau kenali dalam pengalaman. Bahwa Do'a dan Sikap Rela, Ridha, Ikhlas & Syukur, keduanya itu, tidaklah bertentangan. Bahwa bahkan, keduanya adalah Pasangan. Satu Pasang yang mungkin justru harus dijalankan bersamaan. Tapi, biarlah engkau tidak mengetahuinya secara intelektual, tapi biarlah engkau mengenalinya dalam pengamalan dan pengalaman.
***
Setiap Tindakan kita, betapapun sederhananya ia, bahkan sesederhana merebahkan diri untuk tidur, adalah sebuah Tindakan Penciptaan. Dari Ketiadaan kita menciptakan Sesuatu menjadi Ada.
Maka, di dalam setiap Tindakan, selalu ada tempat untuk Do'a. Di-Tekad-kan dengan Niat, di-Kuat-kan dengan Do'a; harapan agar yang akan di-Laku-kan Berhasil, Berkah dan Mengandung Kebaikan. Lalu, di-Ujung akhir Tindakan, selalu juga terdapat tempat untuk Rela, Ridha, Ikhlas, Syukur; untuk apapun Keadaan dan/atau Hasil dari Tindakan. Apakah Sukses atau Gagal, apakah Baik atau Buruk, apakah Menyenangkan atau Menyakitkan. Semua itu, apapun, selalu dapat menjadi lahan untuk Rela, Ridha, Ikhlas dan Syukur. Maka, Do'a dan Syukur (termasuk Rela, Ridha, Ikhlas), keduanya itu, kata siapa bukan Pasangan?
Bahkan Pasangan yang selalu saling berkelit-kelindan. Engkau ber-Syukur telah selalu di-anugrahi tekad, kesempatan dan kekuatan untuk ber-Do'a. Dan, engkau juga selalu ber-Doa mohon anugrah-Nya untuk menjadi hamba yang senantia Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur. Engkau juga senantiasa ber-Doa mohon anugrah-Nya untuk selalu menjadi hamba yang senantiasa ber-Doa. Dan engkau juga selalu ber-Syukur bahwa engkau telah Allah anugrahi menjadi hamba yang senantiasa ingat untuk Rela, Ridha, Ikhlas dan ber-Syukur.
Lihat, betapa semuanya adalah satu saja; berbincang dengan Allah. Bersahabat dengan Allah. Dari-Nya, dan kembali kepada-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H