Sedikit tentang Lopo di Timor, Nusa Tenggara Timur
Lopo (bukan marga) yang Anda lihat di daratan Timor, khususnya Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, itu bukan rumah adat. Lopo hanya bagian dari rumah adat itu sendiri.
Lopo, beratap alang-alang atau gewang. Bukan seng atau sejenis atap mewah, yang akhir-akhir ini lebih banyak dipakai. Disangga empat tiang, tanpa dinding. Di dalam lopo ada hala' (balai-balai), terbuat dari bambu atau kayu (papan). Lopo dibangun tepat di depan rumah (belakangan dibangun di samping belakang rumah dengan alasan tertentu).
Di kampung-kampung, kalau ada masyarakat yang melakukan kesalahan (moe' lasi), seperti mencuri babi, menculik istri orang, berkelahi, dan masalah lainnya, biasanya diselesaikan di lopo.
Mengapa harus diselesaikan di Lopo?
Ya, tidak mungkin di bawah pohon, di dalam hutan, atau di kandang kambing. Lopo, selain dalam beberapa fungsi di atas, juga memiliki fungsi sebagai tempat untuk menjamu tetamu.
Sebelum seseorang masuk ke dalam rumah (seharusnya) ia beristirahat sejenak di lopo. Sebut saja tetamu yang melakukan perjalanan jauh, ditawarkan untuk beristirahat, tarik napas, lap keringat (mengandaikan musim panas) atau sekadar basa-basi.Â
Sebelum akhirnya, disodorkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan ungkapan persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan.
Nah, ungkapan kekeluargaan atau persaudaraan inilah yang melatarbekakangi, kenapa sebuah masalah (harus) diselesaikan di lopo. Lebih jauh dari itu, lopo sangat menjanjikan kenyamanan. Sehingga masalah yang ada, kemungkinan besar 'beres' di ini tempat.Â
Seperti nyamannya rahim para perempuan. Ya, perempuan-perempuan di kampung sering menjadikan lopo untuk menenun. Walau beberapa yang tidak tahu menenun, menjadikan lopo sebagai tempat cari kutu dan gosip.